Wednesday, July 2, 2014

Mantel Kuning

Rinai hujan selalu membuat saya terharu. Rintiknya, mengingatkan pada masa-masa yang
telah lalu. Begitu pula hari ini. Dulu, sewaktu kecil, saya ingin sekali punya mantel hujan. 
Kuning, itu warna yang saya inginkan. Teman-teman saya yang lain telah memilikinya, 
dan mereka tampak gagah dengan mantel itu. Untuk anak kelas 2 SD, semua yang
berwarna cerah, akan selalu tampak indah. Namun sayang, Ibu tak punya cukup uang
untuk membelinya. Walau sempat kecewa, saya harus menurut, dan menahan keinginan 
untuk mempunyai mantel kuning itu. 

Walau begitu, saya tetap kesal. Dan rasa itu memuncak ketika saya harus pulang dari 
sekolah. Hari itu hujan begitu deras. Saya makin kecewa dengan Ibu. Sebab, jika ada 
mantel, tentu saya tak perlu kena hujan, dan bisa bergabung bersama teman-teman yang
lain. Kesal, dan marah, begitulah yangsaya rasakan saat itu. Sementara yang lain tertawa 
dan menikmati hujan, saya harus berjalan pulang dengan tubuh yang basah kuyup. 

Ah..di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Ibu. Dia tampak membawakan payung
untuk saya. Karena terlanjur marah, saya tak menerima payung itu, dan ngambek, untuk
tetap pulang tanpa payung. Walau begitu, ia tampak ingin melindungi saya dengan 
payungnya. Mendekap, agar saya tak terlalu basah terkena hujan. Hujan makin deras, dan 
kami pun berjalan pulang, walau saya tetap ngambek dan menolak untuk di payungi. 
Sesampainya di rumah, tingkah itu terus saya perbuat. Saya tetap menolak untuk berganti 
pakaian. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, hal itu saya selesaikan. Ibu, kemudian datang
dengan handuk, dan langsung menyelubungi saya dengan handuk itu. Ada kehangatan 
yang segera menyergap. Saya menjadi lebih tenang. Tetap, tak ada kata-kata yang keluar 
dari Ibu, selain terus menghangatkan saya dengan handuk itu. Tangannya terus 
membersihkan setiap air hujan yang ada di badan. Diseka nya kepala saya, agar tak nanti 
tak membuat sakit. Masih dalam diam, Ibu kemudian memberikan pakaian ganti. Setelah 
itu, dia masih menyodorkan teh manis hangat buat saya. Ya, segelas teh manis, sebab, 
susu coklat, adalah hal yang jarang saya rasakan saat itu. Ya, kehangatan kembali hadir 
dalam tubuh. Walau saya mungkin tak mengerti apapun, saya yakin, ada kehangatan lain 
yang diberikan Ibu saat itu. 

Ya, teman, begitulah. Ibu mungkin tak mampu membelikan saya mantel kuning seperti 
yang saya impikan. Namun, payungnya telah membuat saya aman. Ibu mungkin tak
mampu membelikan saya mantel kuning untuk terhindar dari hujan, namun, dekapannya 
membuat saya terhindar dari apapun. Ibu mungkin tak mampu membelikan saya mantel 
kuning itu, namun, handuk hangatnya melebihi setiap kehangatan yang mampu diberikan 
setiap mantel. Ibu mungkin tak mampu membelikan mantel kuning, namun, usapan 
lembutnya, adalah segalanya buat saya. 

Ibu mungkin tak menjemput saya dengan mobil atau kendaraan lain, namun lingkaran 
tangannya di tubuh saya, adalah dekapan yang paling indah. Ibu mungkin tak bisa 
memberikan susu coklat, namun, teh manisnya, lebih berharga dari apapun. Ibu mungkin
tak bisa memberikan saya banyak hal lain, namun, dekapan, usapan, uluran tangan, 
perhatian, kasih sayang, sudah cukup sebagai penggantinya. 

Ya, rintik hujan selalu membuat saya terharu. Terima kasih buat Ibu yang tak
membelikan saya mantel kuning. Karena, apa yang telah diberikannya selama ini, jauh 
melampaui semuanya.

No comments:

Post a Comment