Pengingat untuk Kehidupan Kita
Hidup ini bukanlah suatu jalan yang datar dan ditaburi bunga melainkan adakalanya disirami airmata dan juga darah. ~ Hamka
Kehidupan ini tidak menjanjikan kebahagiaan sepanjang masa. Kadang kala manusia diasak dengan pelbagai dugaan dan ujian. Sekiranya lemah, kita akan terus hanyut mengikut kata hati dan tidak berusaha mencari penyelesaian untuk menyelamatkan diri dan keadaan.
Hidup di dunia ini tidak ubah seperti seorang musafir yang sedang bernaung di bawah sebatang pohon yang sebentar kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut.
Kehidupan itu adalah suatu nikmat bagi orang yang menghargai dan menyedarinya.
Hidup ini bukanlah seperti habuk yang berterbangan oleh angin. Hidup kita bukan tiada maknanya. Setiap kita mempunyai misi yang besar di dunia ini. Setiap kita! Bukan cuma segolongan manusia, atau sekumpulan orang. Selagi kita bernafas, selagi kita tidak ditalkinkan atau dikuburkan hidup kita mempunyai misi.
Ramai orang melalui hidup ini tanpa mengerti betapa pentingnya mereka kepada umat sejagat. Lalu apabila sesuatu musibah menimpa, mereka mengambil jalan untuk memusnahkan diri kerana tidak sanggup menanggung hebatnya dugaan.
Ingatlah tidak ada arang batu yang menjadi intan tanpa melalui tekanan demi tekanan. Hidup yang melalui kesukaran dan dugaan adalah untuk menjadikan kita lebih kuat dan lebih memahami orang lain. Cuma hati yang pernah dilapah yang boleh merasa besarnya erti kasih dan sayang sesama manusia.
Kita mempunyai hak dan kemampuan untuk mengemudikan sendiri hidup kita. Jika mahu berjaya dan bergembira kita mestilah mengikut corak, pemikiran, sikap, perangai dan pegangan orang yang berjaya.
Monday, June 30, 2014
Semuanya adalah Anugerah
Seorang professor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Di sana, ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, Ralph, penjemputnya di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju tempat pengambilan bagasi.
Ketika berjalan keluar, Ralph sering menghilang. Banyak hal dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka, kemudian mengangkat dua anak kecil agar mereka dapat melihat sinterklas. Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Setiap kali, ia kembali ke sisi sang professor dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Dari mana Anda belajar melakukan semua hal itu ? tanya sang professor. Melakukan apa ? tanya Ralph.
Dari mana Anda belajar untuk hidup seperti itu ? desak sang professor.
Oh, kata Ralph, selama perang …..Saya kira, perang telah mengajari saya banyak hal. Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan satu per satu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.
Saya belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah. katanya …….
Saya tidak pernah tahu, apakah langkah berikutnya adalah pijakan terakhir,
sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki serta mensyukuri langkah sebelumnya.
Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini.
Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang bermakna bagi orang lain.
Nilai manusia …….
tidak ditentukan dengan bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup.
Kekayaan manusia bukan apa yang ia peroleh, melainkan apa yang telah ia berikan.
Selamat menikmati setiap langkah hidup Anda dan BERSYUKURLAH SETIAP SAAT
…….
Banyak orang berpikir bagaimana mengubah dunia ini.
Hanya sedikit yang memikirkan bagaimana mengubah dirinya sendiri..
Bila Cinta Berbicara
Suatu ketika, seorang wanita kelihatan amat sedih. Wajahnya kusut masai. Air mukanya letih menahan tangis. Rupanya, dia baru saja kehilangan anak tercintanya untuk selama- lamanya.
Atas nasihat orang di desa, ia menemui seorang tua bijak di pinggir hutan. Mereka berkata, siapa tahu orang bijak itu dapat membantu menyelesaikan masalahnya. Kerana merasa amat cinta kepada anaknya yang telah mati itu, ia amat berharap agar dapat bertemu dengan orang bijak itu. Ditempuhlah perjalanan yang jauh dengan cepatnya.
Sesampainya disana, dia bertanya, “Guru, apakah Anda memiliki ramuan ajaib untuk mengembalikan anakku?”
Sang Guru tidak berusaha untuk berbalah atau menghalau wanita itu kerana permintaannya yang tidak masuk akal.
Dia cuma berkata, “Carilah bunga merah dari rumah yang tidak mengenal “kesedihan”. Setelah kamu bertemu bunga itu, kita akan bersama-sama membuat ramuan ajaib untuk menghidupkan kembali puteramu.”
Selesai mendengar itu, wanita tersebut segera berangkat mencari kemahuan sang guru.
Dalam perjalanan, dia nampak bingung. Tak ada satu petunjuk pun tentang di mana dan bagaimana bentuk rumah itu. Hinggalah, dia tiba di depan rumah mewah.
“Mungkin, penghuni rumah itu tak pernah mengenal kesedihan,”ucap wanita itu dalam hati.
Setelah mengetuk pintu, dia berkata, “saya mencari rumah yang tidak pernah mengalami kesedihan. Inikah tempatnya ?”
Wajah sang wanita masih memperlihatkan raut bersedih. Dari dalam rumah, terlihat wajah yang tak kalah sedih.
Pemilik rumah itu menjawab, “Kamu datang ke rumah yang salah.”
Pemilik rumah itu bercerita tentang tragedi yang dialami keluarganya . Ia tak hanya kehilangan seorang anak, tapi juga suami dan kedua orangtuanya kerana kemalangan. Si wanita berasa amat kecewa.
Namun, dia menjadi terharu dengan cerita tuan rumah. Ia berfikir, “Siapa yang boleh membantu orang yang nasibnya lebih malang dari saya ini?”
Dia memutuskan untuk tinggal di sana dan menghiburkan pemilik rumah itu. Beberapa hari lamanya, dia bersama wanita pemilik rumah itu, saling bantu-membantu untuk menjalani hidup.
Beberapa minggu berlalu, wanita itu pun berasa si tuan rumah sudah kelihatan lebih baik. Lalu, ia berangkat lagi mencari rumah berikutnya. Tetapi, ke mana pun dia pergi, selalu bertemu kesedihan orang lain. Akhirnya, dia berasa bertanggungjawab untuk menghiburkan semua orang yang dikunjunginya. Hingga akhirnya, dia pun melupakan misinya.
Note :
Kita belajar makna cinta dari seorang ibu yang menyusui anaknya dalam dukungan. Kedua belah tangannya sibuk membetulkan selimut si bayi. Dalam dadanya tiada sesuatu selain ketulusan memberi atas nama cinta.
Kita belajar makna cinta dari seorang ayah yang membawa pulang sekarung padi dan sejag air setelah seharian berpenat-lelah di sawah. Dalam dadanya, tiada sesuatu selain kegembiraan memberi atas nama cinta.
Kerana cinta bukan hanya sekadar pelukan hangat, belaian lembut, atau kata-kata penuh romantis. Kita belajar apa itu cinta dari apa pun yang ada di muka bumi. Dari cahaya matahari, dari sepasang merpati, dari sujud dan tengadah doa. Dari apapun!
Pada semua kelahiran yang bersambut dengan cinta, hingga kematian dalam cinta, kita dalam hidup ini, tiada lain selain mewujudkan cinta.
Kerana itu, tiada yang boleh kita lakukan selain atas nama cinta kita yang teragung: cinta buat Yang Maha Agung, Allah SWT.
Apapun keputusan-NYA buat kita, Allah yang berbicara, yang menentukan untung-nasib kita, kerana setiap sesuatu yang menyedihkan itu ada hikmah-Nya.
Atas nasihat orang di desa, ia menemui seorang tua bijak di pinggir hutan. Mereka berkata, siapa tahu orang bijak itu dapat membantu menyelesaikan masalahnya. Kerana merasa amat cinta kepada anaknya yang telah mati itu, ia amat berharap agar dapat bertemu dengan orang bijak itu. Ditempuhlah perjalanan yang jauh dengan cepatnya.
Sesampainya disana, dia bertanya, “Guru, apakah Anda memiliki ramuan ajaib untuk mengembalikan anakku?”
Sang Guru tidak berusaha untuk berbalah atau menghalau wanita itu kerana permintaannya yang tidak masuk akal.
Dia cuma berkata, “Carilah bunga merah dari rumah yang tidak mengenal “kesedihan”. Setelah kamu bertemu bunga itu, kita akan bersama-sama membuat ramuan ajaib untuk menghidupkan kembali puteramu.”
Selesai mendengar itu, wanita tersebut segera berangkat mencari kemahuan sang guru.
Dalam perjalanan, dia nampak bingung. Tak ada satu petunjuk pun tentang di mana dan bagaimana bentuk rumah itu. Hinggalah, dia tiba di depan rumah mewah.
“Mungkin, penghuni rumah itu tak pernah mengenal kesedihan,”ucap wanita itu dalam hati.
Setelah mengetuk pintu, dia berkata, “saya mencari rumah yang tidak pernah mengalami kesedihan. Inikah tempatnya ?”
Wajah sang wanita masih memperlihatkan raut bersedih. Dari dalam rumah, terlihat wajah yang tak kalah sedih.
Pemilik rumah itu menjawab, “Kamu datang ke rumah yang salah.”
Pemilik rumah itu bercerita tentang tragedi yang dialami keluarganya . Ia tak hanya kehilangan seorang anak, tapi juga suami dan kedua orangtuanya kerana kemalangan. Si wanita berasa amat kecewa.
Namun, dia menjadi terharu dengan cerita tuan rumah. Ia berfikir, “Siapa yang boleh membantu orang yang nasibnya lebih malang dari saya ini?”
Dia memutuskan untuk tinggal di sana dan menghiburkan pemilik rumah itu. Beberapa hari lamanya, dia bersama wanita pemilik rumah itu, saling bantu-membantu untuk menjalani hidup.
Beberapa minggu berlalu, wanita itu pun berasa si tuan rumah sudah kelihatan lebih baik. Lalu, ia berangkat lagi mencari rumah berikutnya. Tetapi, ke mana pun dia pergi, selalu bertemu kesedihan orang lain. Akhirnya, dia berasa bertanggungjawab untuk menghiburkan semua orang yang dikunjunginya. Hingga akhirnya, dia pun melupakan misinya.
Note :
Kita belajar makna cinta dari seorang ibu yang menyusui anaknya dalam dukungan. Kedua belah tangannya sibuk membetulkan selimut si bayi. Dalam dadanya tiada sesuatu selain ketulusan memberi atas nama cinta.
Kita belajar makna cinta dari seorang ayah yang membawa pulang sekarung padi dan sejag air setelah seharian berpenat-lelah di sawah. Dalam dadanya, tiada sesuatu selain kegembiraan memberi atas nama cinta.
Kerana cinta bukan hanya sekadar pelukan hangat, belaian lembut, atau kata-kata penuh romantis. Kita belajar apa itu cinta dari apa pun yang ada di muka bumi. Dari cahaya matahari, dari sepasang merpati, dari sujud dan tengadah doa. Dari apapun!
Pada semua kelahiran yang bersambut dengan cinta, hingga kematian dalam cinta, kita dalam hidup ini, tiada lain selain mewujudkan cinta.
Kerana itu, tiada yang boleh kita lakukan selain atas nama cinta kita yang teragung: cinta buat Yang Maha Agung, Allah SWT.
Apapun keputusan-NYA buat kita, Allah yang berbicara, yang menentukan untung-nasib kita, kerana setiap sesuatu yang menyedihkan itu ada hikmah-Nya.
Sunday, June 29, 2014
Cinta Sejati
Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.
Lalu aku baca tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, “Sayangku Michael”, yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.
etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. “Operator,” kataku pada bagian peneragan, “Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?”
Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda.” Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku
menunggu beberapa menit.
Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, “Ada orang yang ingin berbicara dengan anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!” “Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu,” kata wanita itu. “Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada.” Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.
“Semua ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat
Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, “Ya, Hannah memang tinggal bersama kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. “Ok,” kata pria itu agak bersungut-sungut, “bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.”
Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop
surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael.” Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, “Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu.” “Ya,” lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. “Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,…….”
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ……katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, “aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael.” Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?” Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang
pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini.” Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.”
“Siapakah Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar.” Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan.” Kami menuju ke
satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata, “Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?” Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi
sore. Aku akan memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.”
Senyumnya langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.” Wajahnya tiba-tiba pucat. “Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya,” kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, “Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.” Ia menggenggam tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat
surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu
mencintainya.”
“Michael,” kataku, “Ayo ikuti aku.” Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.
“Hannah,” kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. “Apakah anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?” Hannah gemetar, “Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!” Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. “Lihatlah,” kataku. “Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.”
Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. “Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!” Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.
Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun
Andai Saja Kamu Percaya Padaku
Sulit benar membangun kepercayaan, walau untuk hal-hal yang sederhana sekalipun. Ini kisahku dalam perjalanan tempo hari. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti si depan karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di depannya.
Tapi karena tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap sepi. Saat itu, akulah yang mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di depan ada becak yang sarat muatan hendak menyeberang. Biarlah ia lewat. Kalau ia harus berhenti dan menggejot dari awal lagi, tentu merepotkan.
Tapi keputusanku ini ternyata membuat mobil di belakang itu tidak senang. Baru saja aku menginjak rem, klaksonnya sudah menyalak galak bertubi-tubi. Tapi keputusan telah ditetapkan, dan abang becak telah mengambil jalan. Si mobil belakang ini juga telah membulatkan hati, dia memilih menyalipku daripada ikut berhenti. Maka yang terjadi terjadilah.
Ia begitu terkejut, hampir mati ketika becak itu muncul begitu saja di moncong mobilnya. Ia menginjak rem hingga berdecit. Tabrakan keras memang tidak terjadi tapi sekedar ciuman bumper pun telah membuat sang becak terguling. Muatan sayuran yang menggunung berhamburan memenuhi jalan. Kecelakaan itu tidak mengerikan,tetapi sayuran yang bertebaran benar-benar telah menjadi provokasi tersendiri.
Jalanan macet seketika. Si penyalip mobilku pucat pasi. Ia seorang pria, tampak
terpelajar; tapi saat itu ia berubah menjadi orang yang kelihatan bodoh. Posisi mobilnya secara mencolok memperlihatkan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini. Semua pihak kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar itu, entah belajar teori drama dari mana, mulai membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya terjungkal. Ia sendiri dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan berjalan menghampiri si pria pengemudi dan langsung meninjunya.
Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi akhir insiden ini. Betapa tidak enak membayangkan perasaan pengemudi mobil tadi. Seorang yang tampak terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok lingkungan dan dipukuli seperti kriminal. Padahal, jika saja ia mau sedikit bersabar, dan terpenting, mau mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah ini mungkin tidak akan terjadi.
Seperti itulah keadaan di negeriku, orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau ia memang tengah memegang otoritas yang sesungguhnya. Selalu saja ada intervensi.
Inilah mengapa kita selalu cenderung membunyikan klakson di saat kita dalam
kemacetan. Mengapa dalam hal antri, leher kita cenderung terjulur demikian panjang untuk selalu gatal melihat keadaan di depan.
Kita selalu ingin tergesa-gesa, tidak punya kesabaran sedikitpun. Padahal di depan itu sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik-baik saja. Sekeras apapun klakson yang kita bunyikan, tidak akan mengubah situasi jika saatnya belum tiba. Pada gilirannya, antrian pun pasti akan bergerak maju dengan caranya sendiri. Jika semuanya masih terhenti, pasti karena masih ada persoalan. Biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di belakang, tinggal mempercayainya.
Berat memang, tapi inilah ongkos hidup bersama. Harus ada semacam tebusan sebagai ongkos kepercayaan. Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang membuat hidup bermasyarakat sering dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan pihak yang di depan itu, memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita boleh kecewa tapi tak perlu mendendam. Karena untuk hidup bersama, manusia memang perlu saling mempercayai. Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah diherankan pula. Siapa yang sama sekali bisa
membebaskan diri dari nasib sial Rasanya tak ada.
Maka andai saja saat itu engkau percaya padaku, engkau pasti tidak dipermalukan sedemikian rupa.
Saturday, June 28, 2014
Batu dan Mutiara
Setelah lama berjalan, lelahlah pedagang itu, kemudian dia beristirahat sejenak. Selama dia beristirahat, dia membuka kembali bungkusan yang berisi batu itu. Diperhatikannya batu itu dengan seksama, kemudian batu itu digosoknya dengan hati-hati batu itu. Karena kesabaran pedagang itu, batu yang semula buruk itu, sekarang terlihat indah dan mengkilap. Puaslah hati pedagang itu, kemudian dia meneruskan perjalanannya.
Selama dia berjalan lagi, tiba-tiba dia melihat ada yang berkilau-kilauan di pinggir jalan. Setelah diperhatikan, ternyata itu adalah sebuah mutiara yang indah. Alangkah senangnya hati pedagang tersebut, mutiara itu diambil dan disimpannya tetapi dalam kantong yang berbeda dengan kantong tempat batu tadi. Kemudian dia meneruskan perjalanannya kembali.
Adapun si batu kecil itu merasa bahwa pedagang itu begitu memperhatikan dirinya, dan dia merasa begitu bahagia. Namun pada suatu saat mengeluhlah batu kecil itu kepada dirinya sendiri. “Tuan begitu baik padaku, setiap hari aku digosoknya walaupun aku ini hanya sebuah batu yang jelek, namun aku merasa kesepian. Aku tidak mempunyai teman seorangpun, seandainya saja Tuan memberikan kepadaku seorang teman”. Rupanya keluhan batu kecil yang malang ini didengar oleh pedagang itu. Dia merasa kasihan dan kemudian dia berkata kepada batu kecil itu “Wahai batu kecil, aku mendengar keluh kesahmu, baiklah aku akan memberikan kepadamu sesuai dengan yang engkau minta”.
Setelah itu kemudian pedagang tersebut memindahkan mutiara indah yang ditemukannya di pinggir jalan itu ke dalam kantong tempat batu kecil itu berada.
Dapat dibayangkan betapa senangnya hati batu kecil itu mendapat teman mutiara yang indah itu. Sungguh betapa tidak disangkanya, bahwa pedagang itu akan memberikan miliknya yang terbaik kepadanya. Waktu terus berjalan dan si batu dan mutiara pun berteman dengan akrab. Setiap kali pedagang itu beristirahat, dia selalu menggosok kembali batu dan mutiara itu. Namun pada suatu ketika, setelah selesai menggosok keduanya, tiba-tiba saja pedagang itu memisahkan batu kecil dan mutiara itu. Mutiara itu ditempatkannya kembali di dalam kantongnya semula, dan batu kecil itu tetap di dalam kantongnya sendiri. Maka sedihlah hati batu kecil itu. Tiap-tiap hari dia menangis, dan memohon kepada pedagang itu agar mengembalikan mutiara itu bersama dengan dia. Namun seolah-olah pedagang itu tidak mendengarkan dia.
Maka putus asalah batu kecil itu, dan di tengah-tengah keputusasaannya itu, berteriaklah dia kepada pedagang itu “Oh tuanku, mengapa engkau berbuat demikian ? Mengapa engkau mengecewakan aku ?”
Rupanya keluh kesah ini didengar oleh pedagang batu tersebut. Kemudian dia berkata kepada batu kecil itu “Wahai batu kecil, kamu telah kupungut dari pinggir jalan. Engkau
yang semula buruk kini telah menjadi indah. Mengapa engkau mengeluh ? Mengapa engkau berkeluh kesah ? Mengapa hatimu berduka saat aku mengambil mutiara itu daripadamu ? Bukankah mutiara itu miliku, dan aku bebas mengambilnya setiap saat menurut kehendakku ? Engkau telah kupungut dari jalan, engkau yang semula buruk kini telah menjadi indah. Ketahuilah bahwa bagiku, engkau sama berharganya seperti mutiara itu, engkau telah kupungut dan engkau kini telah menjadi milikku juga. Biarlah aku bebas
menggunakanmu sekehendak hatiku. Aku tidak akan pernah membuangmu kembali”.
Mengertikah apakah maksud cerita di atas ? Yang dimaksud dengan batu kecil itu adalah kita-kita semua, sedangkan pedagang itu adalah Tuhan sendiri. Kita semua ini buruk dan hina di hadapanNya, namun karena kasihnya itu Dia memoles kita, sehingga kita dijadikannya indah di hadapanNya. Sedangkan yang dimaksud dengan mutiara itu adalah berkat Tuhan bagi kita semua. Siapa yang tidak senang menerima berkat ? Berkat itu dapat berupa apa saja dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin berupa kegembiraan, kesehatan, orangtua, saudara dan sahabat, dan banyak lagi. Apakah kita pernah bersyukur, setiap kali kita mendapat berkat itu ? Dan apakah kita tetap bersyukur, jika seandainya Tuhan mengambil semuanya itu dari kita ? Bukankah semua itu milikNya dan Ia bebas mengambilnya kembali kapanpun Ia mau ? Bersyukurlah selalu kepadaNya, karena Dia tidak akan pernah mengecewakan kita semu
Cintai Pekerjaan Anda
Seorang sopir taxi telah mengajarkan pada saya bagaimana memenuhi harapan dan kepuasan pelanggan. Sebuah pelajaran berharga satu juta Dollar. Mungkin anda harus mengeluarkan ribuan Dollar untuk membayar seorang pembicara profesional dalam sebuah seminar atau pelatihan motivasi bagi karyawan perusahaan. Tapi kali ini saya hanya cukup mengeluarkan ongkos taxi seharga 12 Dollar saja.
Ceritanya begini: Suatu hari saya terbang ke Dallas untuk menemui seorang klien. Waktu itu sangat sempit, karena saya harus segera kembali ke airport.
Saya menyetop sebuah taxi. Begitu tiba, dengan segera sopir taxi membuka pintu mobil untuk saya, dan memastikan bahwa saya telah duduk dengan nyaman di dalamnya.
Begitu ia duduk di belakang kemudi, ia menunjuk sebuah koran Wall Street Journal yang terlipat rapi di samping saya untuk dibaca. Lalu ia menawarkan beberapa kaset, dan menanyakan jenis musik apa yang saya sukai. “Wow,” saya cukup terperanjat dengan pelayanan yang diberikannya. Saya menoleh ke sekeliling. Jangan-jangan ada program “Candid Camera” yang ingin menjebak dan mengolok-olok saya. Dengan penuh penasaran saya memberanikan bertanya pada sopir taxi itu, “Wah, kelihatannya anda sangat senang sekali dengan pekerjaan anda ini. Tentu anda punya cerita yang panjang mengenai pekerjaan anda ini”
“Anda salah,” jawabnya, “Dulu saya bekerja di Corporate America. Tetapi saya merasa lelah karena berapa pun kerasnya usaha untuk menjadi yang terbaik dalam perusahaan itu, ternyata tidak pernah memuaskan hati saya. Kemudian saya memutuskan untuk menemukan sebuah ceruk dalam kehidupan saya dimana saya bisa merasa bangga dan puas karena mampu menjadi diri saya yang terbaik.”
“Saya tahu,” lanjutnya, “Saya takkan pernah bisa menjadi seorang ilmuwan roket, tetapi saya suka sekali mengendarai mobil dan memberikan pelayanan pada orang lain. Saya ingin merasa bahwa saya telah melakukan pekerjaan yang terbaik setiap harinya. Lalu, saya merenungi apa yang jadi kelebihan diri saya, dan wham.. saya menjadi seorang sopir taxi.”
“Satu hal yang saya yakini, supaya saya meraih keberhasilan dalam usaha saya ini, saya hanya perlu memenuhi kebutuhan penumpang saya. Tetapi agar bisnis saya ini menjadi luar biasa, saya harus melebihi harapan penumpang saya. Tentu saja saya ingin meraih hasil yang luar biasa, ketimbang yang biasa-biasa saja.”
Waw, sebuah pelajaran nyata yang luar biasa. Menurut anda, apakah saya memberinya tip besar atas pelayanan yang diberikannya? Anda salah! Dia adalah kerugian bagi Corporate America, tetapi teman perjalanan yang baik.
Ceritanya begini: Suatu hari saya terbang ke Dallas untuk menemui seorang klien. Waktu itu sangat sempit, karena saya harus segera kembali ke airport.
Saya menyetop sebuah taxi. Begitu tiba, dengan segera sopir taxi membuka pintu mobil untuk saya, dan memastikan bahwa saya telah duduk dengan nyaman di dalamnya.
Begitu ia duduk di belakang kemudi, ia menunjuk sebuah koran Wall Street Journal yang terlipat rapi di samping saya untuk dibaca. Lalu ia menawarkan beberapa kaset, dan menanyakan jenis musik apa yang saya sukai. “Wow,” saya cukup terperanjat dengan pelayanan yang diberikannya. Saya menoleh ke sekeliling. Jangan-jangan ada program “Candid Camera” yang ingin menjebak dan mengolok-olok saya. Dengan penuh penasaran saya memberanikan bertanya pada sopir taxi itu, “Wah, kelihatannya anda sangat senang sekali dengan pekerjaan anda ini. Tentu anda punya cerita yang panjang mengenai pekerjaan anda ini”
“Anda salah,” jawabnya, “Dulu saya bekerja di Corporate America. Tetapi saya merasa lelah karena berapa pun kerasnya usaha untuk menjadi yang terbaik dalam perusahaan itu, ternyata tidak pernah memuaskan hati saya. Kemudian saya memutuskan untuk menemukan sebuah ceruk dalam kehidupan saya dimana saya bisa merasa bangga dan puas karena mampu menjadi diri saya yang terbaik.”
“Saya tahu,” lanjutnya, “Saya takkan pernah bisa menjadi seorang ilmuwan roket, tetapi saya suka sekali mengendarai mobil dan memberikan pelayanan pada orang lain. Saya ingin merasa bahwa saya telah melakukan pekerjaan yang terbaik setiap harinya. Lalu, saya merenungi apa yang jadi kelebihan diri saya, dan wham.. saya menjadi seorang sopir taxi.”
“Satu hal yang saya yakini, supaya saya meraih keberhasilan dalam usaha saya ini, saya hanya perlu memenuhi kebutuhan penumpang saya. Tetapi agar bisnis saya ini menjadi luar biasa, saya harus melebihi harapan penumpang saya. Tentu saja saya ingin meraih hasil yang luar biasa, ketimbang yang biasa-biasa saja.”
Waw, sebuah pelajaran nyata yang luar biasa. Menurut anda, apakah saya memberinya tip besar atas pelayanan yang diberikannya? Anda salah! Dia adalah kerugian bagi Corporate America, tetapi teman perjalanan yang baik.
Kata Mutiara (English - Indonesia)
Smile is the shortest distance between two people.
Senyum adalah jarak yang terdekat antara dua manusia .
Real power does not hit hard , but straight to the point.
Kekuatan yang sesungguhnya tidak memukul dengan keras , tetapi tepat sasaran
You have to endure caterpillars if you want to see butterflies. (Antoine De Saint)
Anda harus tahan terhadap ulat jika ingin dapat melihat kupu-kupu. (Antoine De Saint)
Only the man who is in the truth is a free man.
Hanya orang yang berada dalam kebenaranlah orang yang bebas.
Every dark light is followed by a light morning.
Malam yang gelap selalu diikuti pagi yang tenang.
Laughing is healthy, especially if you laugh about yourself.
Tertawa itu sehat, lebih-lebih jika mentertawakan diri sendiri.
The danger of small mistakes is that those mistakes are not always small.
Bahayanya kesalahan-kesalahan kecil adalah bahwa kesalahan-kesalahan itu tidak selalu kecil.
Kesalahan kecil bisa mengakibatkan kesalahan yang lebih besar. Bersamaan dengan kesalahan itu, persoalannya bisa menjadi besar pula. Maka kesalahan kecil pun harus segera dibetulkan.
To be silent is the biggest art in a conversation.
Sikap diam adalah seni yang terhebat dalam suatu pembicaraan.
The worst in the business world is the situation of no decision. (Napoleon).
Yang terparah dalam dunia usaha adalah keadaan tidak ada keputusan. (Napoleon).
Dig a well before you become thirsty.
Galilah sumur sebelum Anda merasa haus.
Good manners consist of small sacrifices.
Sopan – santun yang baik yang terdiri dari pengorbanan –pengorbanan kecil.
IDEAS ARE ONLY SEEDS, TO PICK THE CROPS NEEDS PERSPIRATION.
GAGASAN-GAGASAN HANYALAH BIBIT, MENUAI HASILNYA MEMBUTUHKAN KERINGAT.
LAZINESS MAKES A MAN SO SLOW THAT POV ERTY SOON OVERTAKE HIM.
KEMALASAN MEMBUAT SESEORANG BEGITU LAMBAN SEHINGGA KEMISKINAN SEGERA MENYUSUL.
THOSE WHO ARE ABLE TO CONTROL THEIR RAGE CAN CONQUER THEIR MOST SERIOUS ENEMY.
SIAPA YANG DAPAT MENAHAN MARAHNYA MAMPU MENGALAHKAN MUSUHNYA YANG PALING BERBAHAYA.
KNOWLEDGE AND SKILLS ARE TOOLS, THE WORKMAN IS CHARACTER.
PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN ADALAH ALAT, YANG MENENTUKAN SUKSES ADALAH TABIAT.
A HEALTHY MAN HAS A HUNDRED WISHES, A SICK MAN HAS ONLY ONE.
ORANG YANG SEHAT MEMPUNYAI SERATUS KEINGINAN, ORANG YANG SAKIT HANYA PUNYA SATU KEINGINAN
A MEDICAL DOCTOR MAKES ONE HEALTHY, THE NATURE CREATES THE HEALTH. (Aristoteles)
SEORANG DOKTER MENYEMBUHKAN, DAN ALAM YANG MENCIPTAKAN KESEHATAN. (Aristoteles)
THE MAN WHO SAYS HE NEVER HAS TIME IS THE LAZIEST MAN.(Lichtenberg)
ORANG YANG MENGATAKAN TIDAK PUNYA WAKTU ADALAH ORANG YANG PEMALAS.(Lichterberg)
POLITENESS IS THE OIL WHICH REDUCES THE FRICTION AGAINST EACH OTHER. (Demokritus).
SOPAN-SANTU ADALAH IBARAT MINYAK YANG MENGURANGI GESEKAN SATU DENGAN YANG LAIN. (Demokritus).
A DROP OF INK CAN MOVE A MILLION PEOPLE TO THINK.
SETETES TINTA BISA MENGGERAKAN SEJUTA MANUSIA UNTUK BERFIKIR.
WE CAN TAKE FROM OUR LIFE UP TO WHAT WE PUT TO IT.
APA YANG BISA KITA DAPAT DARI KEHIDUPAN KITA TERGANTUNG DARI APA YANG KITA MASUKKAN KE SITU.
REAL POWER DOES NOT HIT HARD, BUT STRAIGHT TO THE POINT.
KEKUATAN YANG SESUNGGUHNYA TIDAK MEMUKUL DENGAN KERAS, TETAPI TEPAT SASARAN
IF YOU LEAVE EVERYTHING TO YOUR GOOD LUCK, THEN YOU MAKE YOUR LIFE A LOTTERY.
JIKA ANDA MENGANTUNGKAN DIRI PADA KEBERUNTUNGAN SAJA, ANDA MEMBUAT HIDUP ANDA SEPERTI LOTERE.
REAL POWER DOES NOT HIT HARD, BUT STRAIGHT TO THE POINT.
KEKUATAN YANG SESUNGGUHNYA TIDAK MEMUKUL DENGAN KERAS, TETAPI TEPAT SASARAN.
BEING CAREFUL IN JUDGING AN OPINION IS A SIGN OF WISDOM.
KEHATI-HATIAN DALAM MENILAI PENDAPAT ORANG ADALAH CIRI KEMATANGAN JIWA.
YOU RECOGNIZE BIRDS FROM THEIR SINGGING, YOU DO PEOPLE FROM THEIR TALKS.
BURUNG DIKENAL DARI NYANYIANNYA, MANUSIA DARI KATA-KATANYA.
ONE OUNCE OF PREVENT IS EQUAL TO ONE POUND OF MEDICINE.
SATU ONS PENCEGAHAN SAMA NILAINYA DENGAN SATU PON OBAT.
Friday, June 27, 2014
You Can't Turn Back Time
Zaman dahulu kala, hiduplah seorang Raja. Raja ini seharusnya puas dengan
kehidupannya, dengan segala harta benda dan kemewahan yang ia miliki. Tapi Raja ini tidak seperti itu. Sang Raja selalu bertanya-tanya mengapa ia tidak pernah puas dengan kehidupannya. Tentu saja, ia memiliki perhatian semua orang kemana pun ia pergi, menghadiri jamuan makan malam dan pesta yang mewah, tetapi, ia tetap merasa ada sesuatu yang kurang dan ia tidak tahu apa sebabnya.
Suatu hari, sang Raja bangun lebih pagi dari biasanya dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar istananya. Sang Raja masuk ke dalam ruang tamunya yang luas dan berhenti ketika ia mendengarkan seseorang bernyanyi dengan riang dan perhatiannya tertuju kepada salah satu pembantunya yang bersenandung gembira dan wajahnya memancarkan sukacita serta kepuasan. Hal ini menarik perhatian sang Raja dan ia pun memanggil si hamba masuk ke dalam ruangannya.
Pria ini, si hamba, masuk ke dalam ruangan sang Raja seperti yang telah diperintahkan. Lalu sang Raja bertanya mengapa si hamba begitu riang gembira. Kemudian, si hamba menjawab, “Yang Mulia, diri saya tidaklah lebih dari seorang hamba, namun apa yang saya peroleh cukup untuk menyenangkan istri dan anak-anak saya. Kami tidak memerlukan banyak, sebuah atap di atas kepala kami dan makanan yang hangat untuk mengisi perut kami. Istri dan anak-anak saya adalah sumber inspirasi saya, mereka puas dengan apa yang bisa saya sediakan walaupun sedikit. Saya bersukacita karena mereka
bersukacita.”
Mendengar hal tersebut, sang Raja menyuruh si hamba keluar dan kemudian memanggil asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan.Sang Raja berusaha mengkaji perasaan pribadinya dan mengkaitkan dengan kisah yang baru saja didengarnya, berharap dirinya dapat menemukan suatu alasan mengapa ia seharusnya dapat merasa puas dengan apa yang dapat diperoleh dengan sekejap tetapi tidak, sedangkan hambanya hanya memperoleh sedikit harta tetapi memiliki rasa kepuasan yang besar.
Dengan penuh perhatian, sang asisten pribadi mendengarkan ucapan sang Raja dan kemudian menarik kesimpulan. Ujarnya, “Yang Mulia, saya percaya si hamba itu belum menjadi bagian dari kelompok 99.” “Kelompok 99? Apakah itu?” tanya sang Raja. Kemudian, sang asisten pribadi menjawab, “Yang Mulia, untuk mengetahui apa itu Kelompok 99, Yang Mulia harus melakukan hal ini… letakkan 99 koin emas dalam sebuah kantung dan tinggalkan kantung tersebut di depan rumah si hamba, setelah itu Yang Mulia akan mengerti apa itu Kelompok 99.”
Sore harinya, sang Raja mengatur agar si hamba memperoleh kantung yang berisi 99 koin emas di depan rumahnya. Walaupun ada sedikit keraguan muncul, dan sang Raja ingin memberikan 100 koin emas, namun ia menuruti nasihat si asisten pribadi dan tetap meletakkan 99 koin emas.
Esok harinya, ketika si hamba baru saja hendak melangkahkan kakinya ke luar rumah, matanya melihat sebuah kantung. Bertanya-tanya dalam hatinya, ia membawa kantung itu masuk ke dalam dan membukanya. Ketika melihat begitu banyak koin emas di dalamnya,
ia langsung berteriak girang. Koin emas… begitu banyak! Hampir ia tidak percaya. Kemudian ia memanggil istri dan anak-anaknya ke luar memperlihatkan temuannya.
Si hamba meletakkan kantung tersebut di atas meja, mengeluarkan seluruh isinya dan mulai menghitung. Hanya 99 koin emas, dan ia pun merasa aneh. Dihitungnya kembali, terus menerus dan tetap saja, hanya 99 koin emas. Si hamba mulai bertanya-tanya, kemanakah koin yang satu lagi? Tidak mungkin seseorang hanya meninggalkan 99 koin emas. Ia pun mulai menggeledah seluruh rumahnya, mencari koin yang terakhir.
Setelah ia merasa letih dan putus asa, ia memutuskan untuk bekerja lebih keras lagi untuk menggantikan 1 koin itu agar jumlahnya genap 100 koin emas.
Keesokan harinya, ia bangun dengan suasana hati yang benar-benar tidak enak, berteriak-teriak kepada istri dan anak-anaknya, tidak menyadari bahwa ia telah menghabiskan malam sebelumnya dengan bekerja keras agar ia mampu membeli 1 koin emas. Si hamba bekerja seperti biasa, tetapi tidak dengan suasana hati yang riang, bersiul-siul seperti biasanya. Dan si hamba pun tidak menyadari bahwa sang Raja memperhatikan dirinya ketika ia melakukan pekerjaan hariannya dengan bersungut-sungut.
Sang Raja bingung melihat sikap si hamba yang berubah begitu drastis, lalu memanggil asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan. Diceritakan apa yang telah dilihatnya dan si asisten pribadinya tetap mendengarkan dengan penuh perhatian. Sang Raja bertanya, bukankah seharusnya si hamba itu lebih riang karena ia telah memiliki koin emas.
Jawab si asisten,”Ah.. tetapi, Yang Mulia, sekarang hamba itu secara resmi telah masuk ke dalam Kelompok 99.” Lanjutnya, “Kelompok 99 itu hanyalah sebuah nama yang diberikan kepada orang-orang yang telah memiliki semuanya tetapi tidak pernah merasa puas, dan mereka terus bekerja keras mencoba mencari 1 koin emas yang terakhir agar genap 100 koin emas. Kita harusnya merasa bersyukur dengan apa yang ada, dan kita bisa hidup dengan sedikit yang kita miliki. Tetapi ketika kita diberikan yang lebih baik
dan lebih banyak, kita menghendaki lebih! Tidak menjadi orang yang sama lagi, yang puas dengan apa yang ada, tetapi kita terus menghendaki lebih dan lebih dan memiliki keinginan seperti itu kita membayar harga yang tidak kita pun sadari. Kehilangan waktu tidur, kebahagiaan, dan menyakiti orang-orang yang berada di sekitar kita hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan kita sendiri. Orang-orang seperti itulah yang tergabung dalam Kelompok 99!”
Mendengar hal itu, sang Raja memutuskan bahwa untuk selanjutnya, ia akan mulai menghargai hal-hal yang kecil dalam hidup. Berusaha untuk memiliki lebih itu bagus, tetapi jangan berusaha terlalu keras sehingga kita kehilangan orang-orang yang dekat dengan kita, jangan pernah menukar kebahagiaan dengan kemewahan.
kehidupannya, dengan segala harta benda dan kemewahan yang ia miliki. Tapi Raja ini tidak seperti itu. Sang Raja selalu bertanya-tanya mengapa ia tidak pernah puas dengan kehidupannya. Tentu saja, ia memiliki perhatian semua orang kemana pun ia pergi, menghadiri jamuan makan malam dan pesta yang mewah, tetapi, ia tetap merasa ada sesuatu yang kurang dan ia tidak tahu apa sebabnya.
Suatu hari, sang Raja bangun lebih pagi dari biasanya dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar istananya. Sang Raja masuk ke dalam ruang tamunya yang luas dan berhenti ketika ia mendengarkan seseorang bernyanyi dengan riang dan perhatiannya tertuju kepada salah satu pembantunya yang bersenandung gembira dan wajahnya memancarkan sukacita serta kepuasan. Hal ini menarik perhatian sang Raja dan ia pun memanggil si hamba masuk ke dalam ruangannya.
Pria ini, si hamba, masuk ke dalam ruangan sang Raja seperti yang telah diperintahkan. Lalu sang Raja bertanya mengapa si hamba begitu riang gembira. Kemudian, si hamba menjawab, “Yang Mulia, diri saya tidaklah lebih dari seorang hamba, namun apa yang saya peroleh cukup untuk menyenangkan istri dan anak-anak saya. Kami tidak memerlukan banyak, sebuah atap di atas kepala kami dan makanan yang hangat untuk mengisi perut kami. Istri dan anak-anak saya adalah sumber inspirasi saya, mereka puas dengan apa yang bisa saya sediakan walaupun sedikit. Saya bersukacita karena mereka
bersukacita.”
Mendengar hal tersebut, sang Raja menyuruh si hamba keluar dan kemudian memanggil asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan.Sang Raja berusaha mengkaji perasaan pribadinya dan mengkaitkan dengan kisah yang baru saja didengarnya, berharap dirinya dapat menemukan suatu alasan mengapa ia seharusnya dapat merasa puas dengan apa yang dapat diperoleh dengan sekejap tetapi tidak, sedangkan hambanya hanya memperoleh sedikit harta tetapi memiliki rasa kepuasan yang besar.
Dengan penuh perhatian, sang asisten pribadi mendengarkan ucapan sang Raja dan kemudian menarik kesimpulan. Ujarnya, “Yang Mulia, saya percaya si hamba itu belum menjadi bagian dari kelompok 99.” “Kelompok 99? Apakah itu?” tanya sang Raja. Kemudian, sang asisten pribadi menjawab, “Yang Mulia, untuk mengetahui apa itu Kelompok 99, Yang Mulia harus melakukan hal ini… letakkan 99 koin emas dalam sebuah kantung dan tinggalkan kantung tersebut di depan rumah si hamba, setelah itu Yang Mulia akan mengerti apa itu Kelompok 99.”
Sore harinya, sang Raja mengatur agar si hamba memperoleh kantung yang berisi 99 koin emas di depan rumahnya. Walaupun ada sedikit keraguan muncul, dan sang Raja ingin memberikan 100 koin emas, namun ia menuruti nasihat si asisten pribadi dan tetap meletakkan 99 koin emas.
Esok harinya, ketika si hamba baru saja hendak melangkahkan kakinya ke luar rumah, matanya melihat sebuah kantung. Bertanya-tanya dalam hatinya, ia membawa kantung itu masuk ke dalam dan membukanya. Ketika melihat begitu banyak koin emas di dalamnya,
ia langsung berteriak girang. Koin emas… begitu banyak! Hampir ia tidak percaya. Kemudian ia memanggil istri dan anak-anaknya ke luar memperlihatkan temuannya.
Si hamba meletakkan kantung tersebut di atas meja, mengeluarkan seluruh isinya dan mulai menghitung. Hanya 99 koin emas, dan ia pun merasa aneh. Dihitungnya kembali, terus menerus dan tetap saja, hanya 99 koin emas. Si hamba mulai bertanya-tanya, kemanakah koin yang satu lagi? Tidak mungkin seseorang hanya meninggalkan 99 koin emas. Ia pun mulai menggeledah seluruh rumahnya, mencari koin yang terakhir.
Setelah ia merasa letih dan putus asa, ia memutuskan untuk bekerja lebih keras lagi untuk menggantikan 1 koin itu agar jumlahnya genap 100 koin emas.
Keesokan harinya, ia bangun dengan suasana hati yang benar-benar tidak enak, berteriak-teriak kepada istri dan anak-anaknya, tidak menyadari bahwa ia telah menghabiskan malam sebelumnya dengan bekerja keras agar ia mampu membeli 1 koin emas. Si hamba bekerja seperti biasa, tetapi tidak dengan suasana hati yang riang, bersiul-siul seperti biasanya. Dan si hamba pun tidak menyadari bahwa sang Raja memperhatikan dirinya ketika ia melakukan pekerjaan hariannya dengan bersungut-sungut.
Sang Raja bingung melihat sikap si hamba yang berubah begitu drastis, lalu memanggil asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan. Diceritakan apa yang telah dilihatnya dan si asisten pribadinya tetap mendengarkan dengan penuh perhatian. Sang Raja bertanya, bukankah seharusnya si hamba itu lebih riang karena ia telah memiliki koin emas.
Jawab si asisten,”Ah.. tetapi, Yang Mulia, sekarang hamba itu secara resmi telah masuk ke dalam Kelompok 99.” Lanjutnya, “Kelompok 99 itu hanyalah sebuah nama yang diberikan kepada orang-orang yang telah memiliki semuanya tetapi tidak pernah merasa puas, dan mereka terus bekerja keras mencoba mencari 1 koin emas yang terakhir agar genap 100 koin emas. Kita harusnya merasa bersyukur dengan apa yang ada, dan kita bisa hidup dengan sedikit yang kita miliki. Tetapi ketika kita diberikan yang lebih baik
dan lebih banyak, kita menghendaki lebih! Tidak menjadi orang yang sama lagi, yang puas dengan apa yang ada, tetapi kita terus menghendaki lebih dan lebih dan memiliki keinginan seperti itu kita membayar harga yang tidak kita pun sadari. Kehilangan waktu tidur, kebahagiaan, dan menyakiti orang-orang yang berada di sekitar kita hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan kita sendiri. Orang-orang seperti itulah yang tergabung dalam Kelompok 99!”
Mendengar hal itu, sang Raja memutuskan bahwa untuk selanjutnya, ia akan mulai menghargai hal-hal yang kecil dalam hidup. Berusaha untuk memiliki lebih itu bagus, tetapi jangan berusaha terlalu keras sehingga kita kehilangan orang-orang yang dekat dengan kita, jangan pernah menukar kebahagiaan dengan kemewahan.
The Power of NO
Pembaca, saya ingin share kepada Anda soal kekuatan dari mengatakan
TIDAK dalam hidup kita. Bukankah kita lebih banyak diajar untuk
mengatakan YA kepada orang lain serta tidak menolak orang lain, sejak
kita masih kecil.
Jadi, adakah sisi positif dari mengatakan TIDAK dalam hidup kita.
Tentu! Dan saya berikan contoh kasusnya. Saya teringat saat saya
memutuskan untuk mengambil ilmu psikologi sebagai dasar basis ilmu
saya, saat kuliah. Sanak saudara saya mengatakan “Jangan deh. Apa sih
yang bisa diharapkan dari ilmu psikologi”. Saya mengatakan TIDAK
kepada mereka. Dan saya sangat gembira karena bisa teguh pada
keputusan saya.
Ternyata ilmu psikologi menjadi fundamental yang bagus bagi saya
dalam menulis, memberikan training serta menjadi seorang pembicara.
Begitu juga, saat memulai karir sebagai trainer. Saya keluar dari
perusahaan dan meninggalkan karir yang begitu menjanjikan.
Ketika menjadi freelance trainer, berbagai perusahaan dan eksekutif
search mencari saya dengan berbagai paket yang menggiurkan. Tapi,
saya senang bisa berkata TIDAK pada tawaran mereka sehingga saya bisa
berfokus untuk mewujudkan impian saya, dalam usia yang relatif muda.
Pembaca, memang betul sejak kecil kita dibiasakan untuk mengatakan
YA, tidak boleh mengecewakan orang lain, membuat orang lain senang
dengan setuju ataupun memberikan peng-YA-an kepada mereka. Tetapi,
ujung-ujungnya banyak cita-cita dan mimpi yang akhirnya terkorbankan
karena kita tidak mampu berkata TIDAK. Percayalah, untuk bisa sukses
kadang kita harus bisa belajar mengatakan TIDAK pada tempatnya.
Sikap negatif
Pertama, mengatakan TIDAK kepada orang yang bersikap negatif terhadap
ide dan mimpi Anda. Saya seringkali mengingatkan bahwa „opini adalah
komoditas yang paling murah‟. Saat Anda memberikan ide Anda, biasanya
Anda harus siap menerima berbagai komentar, termasuk segala komentar
yang negatif.
Saat itu, lihatlah baik-baik dan lihat kredibilitas orang yang
mengatakan. Jika perlu, jangan membiarkan mereka mencuri mimpi Anda
hanya karena sebuah kata TIDAK yang mereka ucapkan.
Para penulis buku Chicken Soup for the Soul berisi kumpulan artikel
inspirasi terkenal sempat dibilang TIDAK oleh penerbit. Tetapi,
karena mereka tidak mau terpengaruh akhirnya buku tersebut hingga
sekarang menjadi buku yang begitu banyak menyentuh orang. Jadi, jika
ada orang yang bermaksud negatif dan mengatakan tidak kepada mimpi
yang Anda yakini, katakan saja, TERIMA KASIH dan teruslah berjuang
untuk mimpimu.
Kedua, mengatakan TIDAK kepada aktivitas yang mengacaukan Anda dari
kegiatan yang produktif dan bermanfaat. Adalah sangat umum, godaan
untuk istirahat dan bersenang-senang memboroskan waktu dengan tidak
produktif. Terkadang ada pula godaan untuk chit-chat, godaan untuk
ngobrol yang tidak produktif ataupun acara-acara popular yang
berlebih-an, yang akhirnya banyak menghabiskan waktu Anda yang
bermanfaat.
Terkadang, agar hidup Anda menjadi lebih berbuah, maka Anda harus
berani mengatakan TIDAK kepada mereka yang ingin mencuri waktu Anda.
Ingatlah selalu, „kalau Anda tidak mulai belajar mengendalikan waktu
Anda maka orang lainlah yang mulai akan mengendalikan waktu Anda‟.
Take control of your own time.
Ketiga, mengatakan TIDAK kepada tawaran-tawaran yang tampaknya
menggiurkan tetapi mengacaukan Anda dari cita-cita Anda. Memang,
musuh dari sesuatu yang baik adalah sesuatu yang lebih baik.
Kadang-kadang, ada hal-hal yang kelihatannya berguna dan bermanfaat,
tetapi kalau ki-ta perhatikan baik-baik, maka hal tersebut sebenarnya
tidaklah membawa kita lebih dekat dengan cita-cita kita.
Saya salut dengan seorang rekan saya yang membaktikan hidupnya untuk
melayani kehidupan rohani para mahasiswa. Saya tahu bahwa ia pun
mungkin membutuhkan dana untuk kehidupan keluarganya.
Tetapi saat ada undangan untuk berbicara di kota lain. Ternyata ia
menolak dengan mengatakan dengan sopan, “Iya saya memang membutuhkan
dana tetapi saya sudah memutuskan menghabiskan minggu ini untuk
memberikan konseling pada para mahasiswa dampingan saya. Terpaksa
saya katakan TIDAK karena saya sudah punya komitmen waktu dalam
minggu ini”.
Keempat, mengatakan TIDAK kepada berbagai godaan yang justru
menjatuhkan Anda dari sisi martabat dan moral Anda. Dikatakan bahwa
seringkali HARTA, TAHTA dan WANITA banyak menjadi godaan yang
menjatuhkan. Kisah yang terjadi sejak penciptaan manusia pertama.
Tetapi sering godaan ini akan bagus jika sejak awal kita tidak
menerimanya. Misalkan pernah tawaran mendapatkan proyek tertentu
tetapi harus dengan menyediakan wanita ataupun sejumlah uang suap.
Celakanya sekali kita terbiasa dengan proses kerja seperti ini, maka
kitapun akan jadi keterusan menjalankan bisnis dengan cara seperti
itu. Dalam situasi seperti ini, maka akan menjadi sulit bagi kita
untuk mengajarkan nilai-nilai yang positif dan baik kepada bawahan
maupun anak-anak kita, kalau kita sendiri tidak punya integritas.
aya masih ingat, betapa kagetnya saya saat seorang aktivis yang
dulunya dikenal jujur akhirnya terbukti korupsi dan masuk penjara.
Ternyata segala sesuatu dimulai dari „menerima‟ dan terlalu toleran
dengan hal yang kecil. Ketidakmampuan mengatakan TIDAK akhirnya
menjeratnya ke penjara.
Kelima, mengatakan TIDAK kepada orang yang mengatakan TIDAK kepada
Anda. Dalam hidup kadang-kadang kita harus persisten. Inilah maksud
dari keberanian mengatakan TIDAK ini.
Saya teringat dengan cerita lucu tentang seorang direktur yang
mengatakan bahwa dia telah menolak lima kali seorang sales yang
melamar lewat sekretarisnya untuk jadi sales di tempatnya.
Si sales ini dengan tersenyum hanya berkata, “Saya orang yang lima
kali ditolak itu!”. Tetapi, akhirnya justru dialah yang diterima jadi
sales. Pembaca, kadang kita pun harus berani bilang TIDAK kepada
orang yang berkata TIDAK kepada kita.
Sumber: The power of No! oleh Anthony Dio Martin, Director HR Excellency
TIDAK dalam hidup kita. Bukankah kita lebih banyak diajar untuk
mengatakan YA kepada orang lain serta tidak menolak orang lain, sejak
kita masih kecil.
Jadi, adakah sisi positif dari mengatakan TIDAK dalam hidup kita.
Tentu! Dan saya berikan contoh kasusnya. Saya teringat saat saya
memutuskan untuk mengambil ilmu psikologi sebagai dasar basis ilmu
saya, saat kuliah. Sanak saudara saya mengatakan “Jangan deh. Apa sih
yang bisa diharapkan dari ilmu psikologi”. Saya mengatakan TIDAK
kepada mereka. Dan saya sangat gembira karena bisa teguh pada
keputusan saya.
Ternyata ilmu psikologi menjadi fundamental yang bagus bagi saya
dalam menulis, memberikan training serta menjadi seorang pembicara.
Begitu juga, saat memulai karir sebagai trainer. Saya keluar dari
perusahaan dan meninggalkan karir yang begitu menjanjikan.
Ketika menjadi freelance trainer, berbagai perusahaan dan eksekutif
search mencari saya dengan berbagai paket yang menggiurkan. Tapi,
saya senang bisa berkata TIDAK pada tawaran mereka sehingga saya bisa
berfokus untuk mewujudkan impian saya, dalam usia yang relatif muda.
Pembaca, memang betul sejak kecil kita dibiasakan untuk mengatakan
YA, tidak boleh mengecewakan orang lain, membuat orang lain senang
dengan setuju ataupun memberikan peng-YA-an kepada mereka. Tetapi,
ujung-ujungnya banyak cita-cita dan mimpi yang akhirnya terkorbankan
karena kita tidak mampu berkata TIDAK. Percayalah, untuk bisa sukses
kadang kita harus bisa belajar mengatakan TIDAK pada tempatnya.
Sikap negatif
Pertama, mengatakan TIDAK kepada orang yang bersikap negatif terhadap
ide dan mimpi Anda. Saya seringkali mengingatkan bahwa „opini adalah
komoditas yang paling murah‟. Saat Anda memberikan ide Anda, biasanya
Anda harus siap menerima berbagai komentar, termasuk segala komentar
yang negatif.
Saat itu, lihatlah baik-baik dan lihat kredibilitas orang yang
mengatakan. Jika perlu, jangan membiarkan mereka mencuri mimpi Anda
hanya karena sebuah kata TIDAK yang mereka ucapkan.
Para penulis buku Chicken Soup for the Soul berisi kumpulan artikel
inspirasi terkenal sempat dibilang TIDAK oleh penerbit. Tetapi,
karena mereka tidak mau terpengaruh akhirnya buku tersebut hingga
sekarang menjadi buku yang begitu banyak menyentuh orang. Jadi, jika
ada orang yang bermaksud negatif dan mengatakan tidak kepada mimpi
yang Anda yakini, katakan saja, TERIMA KASIH dan teruslah berjuang
untuk mimpimu.
Kedua, mengatakan TIDAK kepada aktivitas yang mengacaukan Anda dari
kegiatan yang produktif dan bermanfaat. Adalah sangat umum, godaan
untuk istirahat dan bersenang-senang memboroskan waktu dengan tidak
produktif. Terkadang ada pula godaan untuk chit-chat, godaan untuk
ngobrol yang tidak produktif ataupun acara-acara popular yang
berlebih-an, yang akhirnya banyak menghabiskan waktu Anda yang
bermanfaat.
Terkadang, agar hidup Anda menjadi lebih berbuah, maka Anda harus
berani mengatakan TIDAK kepada mereka yang ingin mencuri waktu Anda.
Ingatlah selalu, „kalau Anda tidak mulai belajar mengendalikan waktu
Anda maka orang lainlah yang mulai akan mengendalikan waktu Anda‟.
Take control of your own time.
Ketiga, mengatakan TIDAK kepada tawaran-tawaran yang tampaknya
menggiurkan tetapi mengacaukan Anda dari cita-cita Anda. Memang,
musuh dari sesuatu yang baik adalah sesuatu yang lebih baik.
Kadang-kadang, ada hal-hal yang kelihatannya berguna dan bermanfaat,
tetapi kalau ki-ta perhatikan baik-baik, maka hal tersebut sebenarnya
tidaklah membawa kita lebih dekat dengan cita-cita kita.
Saya salut dengan seorang rekan saya yang membaktikan hidupnya untuk
melayani kehidupan rohani para mahasiswa. Saya tahu bahwa ia pun
mungkin membutuhkan dana untuk kehidupan keluarganya.
Tetapi saat ada undangan untuk berbicara di kota lain. Ternyata ia
menolak dengan mengatakan dengan sopan, “Iya saya memang membutuhkan
dana tetapi saya sudah memutuskan menghabiskan minggu ini untuk
memberikan konseling pada para mahasiswa dampingan saya. Terpaksa
saya katakan TIDAK karena saya sudah punya komitmen waktu dalam
minggu ini”.
Keempat, mengatakan TIDAK kepada berbagai godaan yang justru
menjatuhkan Anda dari sisi martabat dan moral Anda. Dikatakan bahwa
seringkali HARTA, TAHTA dan WANITA banyak menjadi godaan yang
menjatuhkan. Kisah yang terjadi sejak penciptaan manusia pertama.
Tetapi sering godaan ini akan bagus jika sejak awal kita tidak
menerimanya. Misalkan pernah tawaran mendapatkan proyek tertentu
tetapi harus dengan menyediakan wanita ataupun sejumlah uang suap.
Celakanya sekali kita terbiasa dengan proses kerja seperti ini, maka
kitapun akan jadi keterusan menjalankan bisnis dengan cara seperti
itu. Dalam situasi seperti ini, maka akan menjadi sulit bagi kita
untuk mengajarkan nilai-nilai yang positif dan baik kepada bawahan
maupun anak-anak kita, kalau kita sendiri tidak punya integritas.
aya masih ingat, betapa kagetnya saya saat seorang aktivis yang
dulunya dikenal jujur akhirnya terbukti korupsi dan masuk penjara.
Ternyata segala sesuatu dimulai dari „menerima‟ dan terlalu toleran
dengan hal yang kecil. Ketidakmampuan mengatakan TIDAK akhirnya
menjeratnya ke penjara.
Kelima, mengatakan TIDAK kepada orang yang mengatakan TIDAK kepada
Anda. Dalam hidup kadang-kadang kita harus persisten. Inilah maksud
dari keberanian mengatakan TIDAK ini.
Saya teringat dengan cerita lucu tentang seorang direktur yang
mengatakan bahwa dia telah menolak lima kali seorang sales yang
melamar lewat sekretarisnya untuk jadi sales di tempatnya.
Si sales ini dengan tersenyum hanya berkata, “Saya orang yang lima
kali ditolak itu!”. Tetapi, akhirnya justru dialah yang diterima jadi
sales. Pembaca, kadang kita pun harus berani bilang TIDAK kepada
orang yang berkata TIDAK kepada kita.
Sumber: The power of No! oleh Anthony Dio Martin, Director HR Excellency
Rajin atau Cerdas ?
Suatu siang dalam liburanku di rumah kakek, aku menghampirinya dan bertanya.
“Menurut Kakek lebih hebat yang mana, menjadi cerdas atau menjadi rajin?”
Kakek meletakkan surat kabar yang ia baca, kemudian menatapku melewati kaca mata plusnya yang tebal.
“Apa itu cerdas?” tanyanya.
“Pandai berpikir.” jawabku.
Kakek mengangguk. “Lalu apa itu rajin?”
“Suka bekerja.” jawabku lagi.
“Kemarilah.” Ia melambaikan tangan agar aku duduk di sisinya. Aku mendekat dan duduk di kursi di sampingnya. Melihat dari dekat wajah kakek yang diukir guratan usia tua, dibingkai sepasang mata teduh yang menyimpan selaksa kebijaksanaan.
“Nah, sekarang katakan, apa yang kau naiki kemarin waktu menuju ke rumah kakek?”
“Mobil.”
“Benar, mobil. Apa yang membuatnya bergerak?”
“Mm… Roda.”
“Apakah roda hanya dapat melaju lurus ke depan?”
Aku menggeleng. “Tidak, roda dapat berbelok-belok. ”
“Mengapa demikian?”
“Karena ada kemudinya.” Jawabku lagi. Masih tak memahami apa hubungan semua ini dengan pertanyaanku tadi.
Kakek tersenyum.
“„Roda‟ adalah „rajin‟, karena ia selalu bergerak. Itulah kewajibannya, pekerjaannya, tugas yang harus selalu ia lakukan.
„Kemudi‟ adalah „cerdas‟, karena ialah yang berpikir, menentukan kemana roda harus berbelok, ke kanan, atau ke kiri.”
“Berarti „cerdas‟ lebih hebat, karena tanpa kemudi, roda tak dapat mengerti kemana harus mengarahkan lajunya!” Aku berseru.
“Begitukah? Jika tak ada roda apakah ia akan tetap hebat? Apa jadinya kemudi tanpa roda, apakah mobil tetap dapat melaju?” Kakek bertanya.
“Berarti… „rajin‟ lebih hebat. Walaupun tanpa kemudi, ia masih dapat melaju.” sahutku ragu-ragu.
“Dan membiarkan mobilnya menabrak segala sesuatu, karena tidak mengikuti alur jalan yang berliku?”
Aku memandang kakek.
“Cucuku… Keduanya tidak akan menjadi hebat, bila berdiri sendiri-sendiri, terpisah, tanpa mau bergabung.
Karena kehebatan itu hanya muncul bila mereka saling mendukung dan bekerja sama. Kemudi yang menentukan arahnya, dan roda yang melajukan mobil sesuai tugasnya.”
Kakek menatapku, “Kau tahu, apa yang membuat keduanya bekerja bersama?”
Aku menggeleng.
“Pengemudi mobilnya. Yang mengatur kemudi dan roda agar saling mendukung dan berjalan bersama. Bagaimana laju mobilmu, halus atau kasar, menabrak atau lancar, tergantung siapa yang duduk di tempat itu.” jawab Kakek.
“Ia adalah hatimu.” Telunjuknya terarah ke dadaku.
“Yang mengatur lajunya langkahmu. Dengannya kau memilih, apakah hanya menjadi cerdas, atau hanya menjadi rajin, atau memutuskan mendudukkan keduanya bersisian dan saling melengkapi satu sama lain.
Secerdas apapun seseorang, sebesar apapun idenya, tak akan berguna tanpa kerja keras yang mewujudkannya menjadi nyata.
Serajin apapun seseorang, bila itu dilakukan tanpa pemikiran, hasilnya hanya akan menjadi sia-sia.”
Kakek menatapku dengan bijak.
“Jadi, menurutmu, mana yang lebih hebat, menjadi cerdas atau menjadi rajin?”
“Menjadi keduanya.” Kataku mantap, dengan senyum lebar membalas senyumnya.
“Menurut Kakek lebih hebat yang mana, menjadi cerdas atau menjadi rajin?”
Kakek meletakkan surat kabar yang ia baca, kemudian menatapku melewati kaca mata plusnya yang tebal.
“Apa itu cerdas?” tanyanya.
“Pandai berpikir.” jawabku.
Kakek mengangguk. “Lalu apa itu rajin?”
“Suka bekerja.” jawabku lagi.
“Kemarilah.” Ia melambaikan tangan agar aku duduk di sisinya. Aku mendekat dan duduk di kursi di sampingnya. Melihat dari dekat wajah kakek yang diukir guratan usia tua, dibingkai sepasang mata teduh yang menyimpan selaksa kebijaksanaan.
“Nah, sekarang katakan, apa yang kau naiki kemarin waktu menuju ke rumah kakek?”
“Mobil.”
“Benar, mobil. Apa yang membuatnya bergerak?”
“Mm… Roda.”
“Apakah roda hanya dapat melaju lurus ke depan?”
Aku menggeleng. “Tidak, roda dapat berbelok-belok. ”
“Mengapa demikian?”
“Karena ada kemudinya.” Jawabku lagi. Masih tak memahami apa hubungan semua ini dengan pertanyaanku tadi.
Kakek tersenyum.
“„Roda‟ adalah „rajin‟, karena ia selalu bergerak. Itulah kewajibannya, pekerjaannya, tugas yang harus selalu ia lakukan.
„Kemudi‟ adalah „cerdas‟, karena ialah yang berpikir, menentukan kemana roda harus berbelok, ke kanan, atau ke kiri.”
“Berarti „cerdas‟ lebih hebat, karena tanpa kemudi, roda tak dapat mengerti kemana harus mengarahkan lajunya!” Aku berseru.
“Begitukah? Jika tak ada roda apakah ia akan tetap hebat? Apa jadinya kemudi tanpa roda, apakah mobil tetap dapat melaju?” Kakek bertanya.
“Berarti… „rajin‟ lebih hebat. Walaupun tanpa kemudi, ia masih dapat melaju.” sahutku ragu-ragu.
“Dan membiarkan mobilnya menabrak segala sesuatu, karena tidak mengikuti alur jalan yang berliku?”
Aku memandang kakek.
“Cucuku… Keduanya tidak akan menjadi hebat, bila berdiri sendiri-sendiri, terpisah, tanpa mau bergabung.
Karena kehebatan itu hanya muncul bila mereka saling mendukung dan bekerja sama. Kemudi yang menentukan arahnya, dan roda yang melajukan mobil sesuai tugasnya.”
Kakek menatapku, “Kau tahu, apa yang membuat keduanya bekerja bersama?”
Aku menggeleng.
“Pengemudi mobilnya. Yang mengatur kemudi dan roda agar saling mendukung dan berjalan bersama. Bagaimana laju mobilmu, halus atau kasar, menabrak atau lancar, tergantung siapa yang duduk di tempat itu.” jawab Kakek.
“Ia adalah hatimu.” Telunjuknya terarah ke dadaku.
“Yang mengatur lajunya langkahmu. Dengannya kau memilih, apakah hanya menjadi cerdas, atau hanya menjadi rajin, atau memutuskan mendudukkan keduanya bersisian dan saling melengkapi satu sama lain.
Secerdas apapun seseorang, sebesar apapun idenya, tak akan berguna tanpa kerja keras yang mewujudkannya menjadi nyata.
Serajin apapun seseorang, bila itu dilakukan tanpa pemikiran, hasilnya hanya akan menjadi sia-sia.”
Kakek menatapku dengan bijak.
“Jadi, menurutmu, mana yang lebih hebat, menjadi cerdas atau menjadi rajin?”
“Menjadi keduanya.” Kataku mantap, dengan senyum lebar membalas senyumnya.
Pohon Apel
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senangb ermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini
bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu. “Aku bukan anak kecil
yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.”Aku ingin
sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.” Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu
kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya
datang. “Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. “Aku tak punya
waktu,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” Duh, maaf
aku pun tak memiliki rumah.
Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata
pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon
apel itu dan pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat
anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon
apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa
sangat bersuka cita menyambutnya.”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata
pohon apel.”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.”Aku sudah tua dan ingin hidup
tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah
kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan
bersenang-senanglah.”
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal
yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui
pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “Maaf
anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi
untukmu.” “Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah
apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon
apel.”Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.”Aku
benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang
tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon
apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah
sekian lama meninggalkanmu.” “Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar
pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari,
marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
NOTE :
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika
kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita
memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita
akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk
membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah
bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita
memperlakukan orang tua kita.
Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan
berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada
kita.
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini
bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu. “Aku bukan anak kecil
yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.”Aku ingin
sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.” Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu
kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya
datang. “Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. “Aku tak punya
waktu,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” Duh, maaf
aku pun tak memiliki rumah.
Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata
pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon
apel itu dan pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat
anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon
apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa
sangat bersuka cita menyambutnya.”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata
pohon apel.”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.”Aku sudah tua dan ingin hidup
tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah
kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan
bersenang-senanglah.”
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal
yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui
pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “Maaf
anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi
untukmu.” “Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah
apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon
apel.”Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.”Aku
benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang
tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon
apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah
sekian lama meninggalkanmu.” “Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar
pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari,
marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
NOTE :
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika
kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita
memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita
akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk
membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah
bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita
memperlakukan orang tua kita.
Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan
berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada
kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)