Showing posts with label cinta sejati. Show all posts
Showing posts with label cinta sejati. Show all posts

Tuesday, July 1, 2014

Kisah Cinta Sejati

Toshinobu Kubota, yang biasa dipanggil Shinji 
mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya di 
negerinya yang lama untuk mencari hidup yang lebih 
baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan 
keluarga yang disembunyikan di dalam kantong kulit. 

“Di sini keadaan sulit,” katanya sambil memeluk 
putranya dan mengucapkan selamat tinggal. “Kau adalah 
harapan kami.” 

Shinji naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan 
transport gratis bagi pemuda-pemuda yang mau bekerja 
sebagai penyekop batubara sebagai imbalan ongkos 
pelayaran selama sebulan. Kalau Shinji menemukan emas 
di Pegunungan Colorado, keluarganya akan menyusul. 

Berbulan-bulan Shinji mengolah tanahnya tanpa kenal 
lelah. Urat emas yang tidak besar memberinya 
penghasilan yang pas-pasan namun teratur. Setiap hari 
ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas dua 
kamar, Shinji merindukan dan sangat ingin disambut 
oleh wanita yang dicintainya. Satu-satunya yang 
disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu 
nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Asaka 
Matsutoya sebelum secara resmi punya kesempatan 
mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga 
mereka sudah lama berteman dan selama itu pula 
diam-diam dia berharap bisa memperistri Asaka. 

Rambut Asaka yang ikal panjang dan senyumnya yang 
menawan membuatnya menjadi putri Keluarga Yoshinori 
Matsutoya yang paling cantik. Shinji baru sempat duduk 
di sampingnya dalam acara perayaan pesta bunga dan 
mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah 
gadis itu agar bisa betemu dengannya. Setiap malam 
sebelum tidur di kabinnya, Shinji ingin sekali 
membelai rambut Asaka yang pirang kemerahan dan 
memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya, 
meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya. 

Kira-kira setahun kemudian, sebuah telegram datang 
mengabarkan rencana untuk membuat hidup Shinji menjadi 
lengkap. Pak Yoshinori Matsutoya akan mengirimkan 
putrinya kepada Shinji di Amerika. Putrinya itu suka 
bekerja keras dan punya intuisi bisnis. Dia akan 
bekerja sama dengan Shinji selama setahun dan 
membantunya mengembangkan bisnis penambangan emas. 

Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu 
datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka. 

Hati Shinji sangat bahagia. Dia menghabiskan satu 
bulan berikutnya untuk mengubah pondoknya menjadi 
tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli ranjang 
sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan 
menata bekas tempat tidurnya agar pantas untuk seorang 
wanita. Gorden dari bekas karung goni yang menutupi 
kotornya jendela diganti dengan kain bermotif bunga 
dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur 
dia meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering 
yang dipetiknya di padang rumput. 

Akhirnya, tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya 
sepanjang hidup. Dengan tangan membawa seikat bunga 
daisy segar yang baru dipetik, dia pergi ke stasiun 
kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit 
ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji 
melihat setiap jendela, mencari senyum dan rambut ikal 
Asaka.Jantungnya berdebar kencang penuh harap, 
kemudian tersentak karena kecewa. 

Bukan Asaka, tetapi Yumi Matsutoya kakaknya, yang 
turun dari kereta api. Gadis itu berdiri malu-malu di 
depannya, matanya menunduk. Shinji hanya bisa 
memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar 
diulurkannya buket bunga itu kepada Yumi. “Selamat 
datang,” katanya lirih, matanya menatap nanar. Senyum 
tipis menghias wajah Yumi yang tidak cantik. 

“Aku senang ketika Ayah mengatakan kau ingin aku 
datang ke sini,” kata Yumi, sambil sekilas memandang 
mata Shinji sebelum cepat-cepat menunduk lagi. 

“Aku akan mengurus bawaanmu,” kata Shinji dengan 
senyum terpaksa. 

Bersama-sama mereka berjalan ke kereta kuda. Pak 
Matsutoya dan ayahnya benar. Yumi memang punya intuisi 
bisnis yang hebat. Sementara Shinji bekerja di 
tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di 
sudut ruang duduk, dengan cermat Yumi mencatat semua 
kegiatan di tambang. Dalam waktu 6 bulan, asset mereka 
telah berlipat dua. Masakannya yang lezat dan 
senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan 
sentuhan ajaib seorang wanita. 

Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan, keluh Shinji 
dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di 

ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Yumi? Akankah dia 
bisa bertemu lagi dengan Asaka? Apakah impian lamanya 
untuk memperistri Asaka harus dilupakannya? Setahun 
lamanya Yumi dan Shinji bekerja, bermain, dan tertawa 
bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah 
sekali, Yumi mencium pipi Shinji sebelum masuk ke 
kamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak 
itu, kelihatannya Yumi cukup puas dengan jalan-jalan 
berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di 
beranda setelah makan malam. 

Pada suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur 
punggung bukit, membuat jalan masuk ke tambang mereka 
longsor. Dengan kesal Shinji mengisi karung-karung 
pasir dan meletakkannya sedemikan rupa untuk 
membelokkan arus air. Badannya lelah dan basah kuyup, 
tetapi tampaknya usahanya sia-sia. Tiba-tiba Yumi 
muncul di sampingnya, memegangi karung goni yang 
terbuka. Shinji menyekop dan memasukkan pasir 
kedalamnya, kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Yumi 
melemparkan karung itu ke tumpukan lalu membuka karung 
lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan kaki 
terbenam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda. 
Dengan berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke 
pondok. 

Sambil menikmati sup panas, Shinji mendesah, “Aku 
takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu. 
Terima kasih, Yumi.” 

“Sama-sama,” gadis itu menjawab sambil tersenyum 
tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia 
masuk ke kamarnya. 

Beberapa hari kemudian, sebuah telegram datang 
mengabarkan bahwa Keluarga Matsutoya dan Keluarga 
Kubota akan tiba minggu berikutnya. Meskipun berusaha 
keras menutup-nutupinya, jantung Shinji kembali 
berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan 
bertemu lagi dengan Asaka. Dia dan Yumi pergi ke 
stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga mereka 
turun dari kereta api di ujung peron. 

Ketika Asaka muncul, Yumi menoleh kepada Shinji. 
“Sambutlah dia,” katanya. 

Dengan kaget, Shinji berkata tergagap, “Apa maksudmu?” 

“Shinji, sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri 
Matsutoya yang kau inginkan. Aku memperhatikan 

bagaimana kau bercanda dengan Asaka dalam acara 
Perayaan pesta bunga lalu.” Dia mengangguk ke arah 
adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. “Aku tahu 
bahwa dia, bukan aku, yang kauinginkan menjadi 
istrimu.” 

“Tapi…” 

Yumi meletakkan jarinya pada bibir Shinji. “Ssstt,” 
bisiknya. “Aku mencintaimu, Shinji. Aku selalu 
mencintaimu. Karena itu, yang kuinginkan hanya 
melihatmu bahagia. Sambutlah adikku.” 

Shinji mengambil tangan yumi dari wajahnya dan 
menggenggamnya. Ketika Yumi menengadah, untuk pertama 
kalinya Shinji melihat betapa cantiknya gadis itu. Dia 
ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput, 
ingat malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan 
perapian, ingat ketika Yumi membantunya mengisi 
karung-karung pasir. Ketika itulah dia menyadari apa 
yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah tidak 
diketahuinya. 

“Tidak, Yumi. Engkaulah yang kuinginkan.” Shinji 
merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan 
mengecupnya dengan cinta yg tiba-tiba membuncah 
didalam dadanya. 

Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan 
berseru-seru, “Kami datang untuk menghadiri pernikahan 
kalian!” 
“true love doesn‟t have a happy ending, because true love never ends.

Sunday, June 29, 2014

Cinta Sejati


Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk. 

Lalu aku baca tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, “Sayangku Michael”, yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah. 

etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. “Operator,” kataku pada bagian peneragan, “Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?” 

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda.” Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku
menunggu beberapa menit. 

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, “Ada orang yang ingin berbicara dengan anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!” “Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu,” kata wanita itu. “Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada.” Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo. 

“Semua ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat 

Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, “Ya, Hannah memang tinggal bersama kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. “Ok,” kata pria itu agak bersungut-sungut, “bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.” 

Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop
surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael.” Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, “Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu.” “Ya,” lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. “Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,…….” 

Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ……katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, “aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael.” Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?” Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang
pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini.” Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.” 

“Siapakah Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar.” Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan.” Kami menuju ke 
satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata, “Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?” Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi 
sore. Aku akan memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.” 

Senyumnya langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.” Wajahnya tiba-tiba pucat. “Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya,” kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, “Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.” Ia menggenggam tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat 
surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu
mencintainya.” 

“Michael,” kataku, “Ayo ikuti aku.” Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan. 

“Hannah,” kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. “Apakah anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?” Hannah gemetar, “Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!” Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. “Lihatlah,” kataku. “Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.” 

Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. “Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!” Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka. 

Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun