Showing posts with label percaya. Show all posts
Showing posts with label percaya. Show all posts

Monday, July 21, 2014

Cerita Tentang Iman - Hasil Pilpres Indonesia 22 Juli 2014

Hari ini tanggal 22 Juli 2014 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada hari ini pukul 16.00 WIB akan diumumkan siapa yang menjadi pemimpin bangsa Indonesia 5 tahun kedepan. Banyak spekulasi yang beredar pada hari ini. Ada yang menjagokan nomor 1, ada pula yang menjagokan nomor 2. Tentu saja saya bukan akan bercerita mengenai politik disini. :)

Yang menarik dan menjadi pengamatan saya dalam beberapa hari ini adalah spekulasi-spekulasi yang terjadi dalam masyarakat. Banyak orang-orang yang memprediksikan bahwa pada hari pengumuman pemenang pilpres akan terjadi kerusuhan yang hebat. Sebagai efeknya, banyak orang-orang kaya yang sudah terlebih dahulu pergi ke luar negeri untuk "mencari aman". Ada juga beberapa kantor dan teman saya yang libur pada hari ini. Ini menjadi sesuatu yang unik di mata saya.


Saya yakin dan percaya, siapapun kita, apapun latar belakang kita, apapun pekerjaan kita, kita semua tidak menginginkan adanya kerusuhan di Indonesia. Kita ingin hari ini, tanggal 22 Juli 2014, semuanya aman-aman saja. Mungkin kita semua sudah berdoa dan berharap agar hari ini keadaan aman terkendali. Tetapi, bagaimana dengan iman kita ? Saya tidak berbicara tentang agama disini, saya yakin semua agama mengajarkan kita mengenai iman.

Alkisah, ada sebuah desa yang mengalami kekeringan panjang. Ratusan warga desa tersebut sepakat akan mengadakan doa bersama di suatu pagi yang sudah ditentukan di suatu lapangan terbuka. Ratusan orang datang ke lapangan tersebut untuk memanjatkan doa bersama meminta turunnya hujan. Dari ratusan orang yang datang, hanya ada 1 orang yang datang dengan membawa payung. Menurut saya itulah yang kita sebut sebagai iman.

Kita meyakini bahwa sesuatu belum terjadi akan terjadi. Kita percaya bahwa itu akan terjadi, sehingga kita bersikap seolah-olah hal tersebut telah terjadi. Itulah iman. Kita percaya sesuatu yang belum terlihat atau belum terjadi.

Marilah kita memiliki iman yang kuat bahwa pada hari ini, tanggal 22 Juli 2014, pada saat pengumuman pilpres, dan hari-hari berikutnya pasca pengumuman pilpres, semuanya akan baik-baik saja. Semua akan berjalan dengan sangat baik. Banga Indonesia akan semakin maju siapapun presiden terpilih. Iman ditunjukan dari perbuatan, bukan perkataan. Berbuatlah seperti apa yang iman kita katakan.

Sunday, June 29, 2014

Andai Saja Kamu Percaya Padaku


Sulit benar membangun kepercayaan, walau untuk hal-hal yang sederhana sekalipun. Ini kisahku dalam perjalanan tempo hari. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti si depan karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di depannya. 

Tapi karena tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap sepi. Saat itu, akulah yang mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di depan ada becak yang sarat muatan hendak menyeberang. Biarlah ia lewat. Kalau ia harus berhenti dan menggejot dari awal lagi, tentu merepotkan. 

Tapi keputusanku ini ternyata membuat mobil di belakang itu tidak senang. Baru saja aku menginjak rem, klaksonnya sudah menyalak galak bertubi-tubi. Tapi keputusan telah ditetapkan, dan abang becak telah mengambil jalan. Si mobil belakang ini juga telah membulatkan hati, dia memilih menyalipku daripada ikut berhenti. Maka yang terjadi terjadilah. 

Ia begitu terkejut, hampir mati ketika becak itu muncul begitu saja di moncong mobilnya. Ia menginjak rem hingga berdecit. Tabrakan keras memang tidak terjadi tapi sekedar ciuman bumper pun telah membuat sang becak terguling. Muatan sayuran yang menggunung berhamburan memenuhi jalan. Kecelakaan itu tidak mengerikan,tetapi sayuran yang bertebaran benar-benar telah menjadi provokasi tersendiri. 

Jalanan macet seketika. Si penyalip mobilku pucat pasi. Ia seorang pria, tampak
terpelajar; tapi saat itu ia berubah menjadi orang yang kelihatan bodoh. Posisi mobilnya secara mencolok memperlihatkan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini. Semua pihak kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar itu, entah belajar teori drama dari mana, mulai membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya terjungkal. Ia sendiri dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan berjalan menghampiri si pria pengemudi dan langsung meninjunya. 

Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi akhir insiden ini. Betapa tidak enak membayangkan perasaan pengemudi mobil tadi. Seorang yang tampak terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok lingkungan dan dipukuli seperti kriminal. Padahal, jika saja ia mau sedikit bersabar, dan terpenting, mau mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah ini mungkin tidak akan terjadi. 

Seperti itulah keadaan di negeriku, orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau ia memang tengah memegang otoritas yang sesungguhnya. Selalu saja ada intervensi. 

Inilah mengapa kita selalu cenderung membunyikan klakson di saat kita dalam 
kemacetan. Mengapa dalam hal antri, leher kita cenderung terjulur demikian panjang untuk selalu gatal melihat keadaan di depan. 

Kita selalu ingin tergesa-gesa, tidak punya kesabaran sedikitpun. Padahal di depan itu sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik-baik saja. Sekeras apapun klakson yang kita bunyikan, tidak akan mengubah situasi jika saatnya belum tiba. Pada gilirannya, antrian pun pasti akan bergerak maju dengan caranya sendiri. Jika semuanya masih terhenti, pasti karena masih ada persoalan. Biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di belakang, tinggal mempercayainya. 

Berat memang, tapi inilah ongkos hidup bersama. Harus ada semacam tebusan sebagai ongkos kepercayaan. Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang membuat hidup bermasyarakat sering dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan pihak yang di depan itu, memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita boleh kecewa tapi tak perlu mendendam. Karena untuk hidup bersama, manusia memang perlu saling mempercayai. Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah diherankan pula. Siapa yang sama sekali bisa 
membebaskan diri dari nasib sial Rasanya tak ada. 

Maka andai saja saat itu engkau percaya padaku, engkau pasti tidak dipermalukan sedemikian rupa.