Ada sebuah pesan menarik dari seorang ulama salaf. Tu’rafuna fi ahlis-sama’ wa tukhfuna fil ahlil ardli. Berusahalah agar kalian lebih dikenal oleh para penghuni langit, walaupun tak seorangpun penduduk bumi yang mengenal kalian. Rasulullah SAW menyebut tipe manusia ini dengan sebutan Al Akhfiya’; manusia-manusia tersembunyi. Beliau juga mengatakan Allah Azza wa jalla sangat mencintai manusia tipe ini. Mereka tidak pernah peduli apa kata manusia tentang mereka, yang penting adalah apa kata Allah tentang mereka. Itulah sebabnya, mereka tidak pernah mengalami kegilaan kemashyuran.
***
Malam itu sudah terlalu malam dan gelap. Namun walaupun malam, udara terasa lebih panas dari biasanya. Tidak aneh memang, sebab hari-hari itu adalah hari-hari kemarau panjang di kota itu.Sudah setahun ini kota Madinah tidak pernah mendapatkan curahan air dari langit. Entah telah berapa kali penduduk kota berkumpul melakukan shalat istisqa’ demi meminta hujan. Namun hingga malam itu, tak setetes hujanpun yang turun menemui mereka.
Dan malam itu, seperti kebiasaannya bila sepertiga akhir malam menjelang , Muhammad ibn al Munkadir meninggalkan rumahnya dan bergegas ke mesjid Rasulullah. Usai mengerjakan shalat malam itu, ibnu al-Munkadir bersandar kesalah satu tiang mesjid. Tiba-tiba ia melihat sebuah sosok bergerak tidak jauh dari tempatnya bersandar. Ia mencoba untuk menhetahui siapa sosok itu. Agak sulit sebab malam telah begitu gelap. Dengan agak susah payah ia melihat seorang pria berkulit hitam agak kecoklatan. Tapai ia sama sekali tidak mengenalnya. Pria itu membentangkan sebuah kain dilantai mesjid itu. Dan pria itu sepertinya benar-benar merasa hanya ia sendiri yang berada dalam mesjid itu. Ia tidak menyadari kehadiran ibnu al-Munkadir tidak jauh dari tempat berdirinya.
Ia berdiri mengerjakan shalat dua raka’at. Usai itu, ia duduk bersimpuh. Begitu khusyuk ia bermunajat. Dan dalam munjat itu, ia mengatakan, “Duhai Tuhanku, penduduk negeri haram-Mu ini telah bermunajat dan memohon hujan pada-Mu namun Engkau tidak kunjung mengaruniakannya pada meraka. Duhai Tuhanku, sungguh aku mohon kepada-Mu curahkanlah hujan itu untuk mereka.
Ibnu al-Munkadir yang mendengar munajat itu agak sedikit mencibir. “Dia pikir dirinya siapa mengatakan seperti itu,” katanyadlam hati. “Orang-orang shaleh seantero Madinah telah keluar untuk berdoa meminta hujan, namun tak kunjung dikabulkan….Lalu tiba-tiba, orang ini berdoa pula…,” gumamnya.
Namun sungguh diluar dugaan, belum lagi pria hitam itu menurunkan kedua tangannya, tiba-tiba saja suara Guntur begemuruh dari langit. Tetesan-tetesan air hujan menetes ke bumi. Sudah lama tak begitu. Tak terkira betapa gembira pria itu.Segala pujian dan sanjungan ia ucapkan kepada Allah Ta’ala. Namun tidak lama kemudian ia berkata dengan penuh ketawadhu’an, “Duhai Tuhanku, siapakah aku ini? Siapakah gerangan aku ini hingga Engkau berkenan mengabulkan doaku?”
Ibnu al-Munkadir hanya tertegun di tempatnya memandang pria itu. Tidak lama sesudah itu, pria tersebut bangkit kembali dan melanjutkan raka’at-raka’atnya . Hingga ketika saat subuh menjelang, sebelum kaum muslimin lainnya bedatangan, ia segera menyelesaikan witirnya. Dan ketika shalat subuh ditegakkan, ia masuk kedalam shaf seolah-olah ia baru saja tiba dimesjid itu. Usai mengerjakan shalat subuh, pria itu bergegas keluar meninggalkan mesjid Rasulullah. Jalan-jalan kota Madinah subuh itu digenangi air. Pria itu berjalan cepat sambil mengangkat kain bajunya. Menghilang. Ibn al-Munkadir yang berusaha mengikutinya kehilangan jejak. la benar-benar tidak tahu ke mana pria hitam itu pergi.
***
Dan malam kembali merangkak semakin jauh. Malam ini, Muhammad ibn al-Munkadir kembali mendatangi mesjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat pria hitam itu. Persis seperti kemarin. Ia mengerjakan shalat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika shalat ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seperti orang yang baru saja tiba di mesjid itu. Dan saat sang imam mengucapkan salam, pria itu tidak menunggu lama. Persis seperti kemarin, ia bergegas meninggalkan mesjid itu. Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Pria itu menuju ke sebuah lorong, dan setibanya di depan sebuah rumah ia masuk ke dalamnya. "Hmm, rupanya di situ pria ini tinggal. Baiklah sebentar aku akan mengunjunginya."
Dan malam kembali merangkak semakin jauh. Malam ini, Muhammad ibn al-Munkadir kembali mendatangi mesjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat pria hitam itu. Persis seperti kemarin. Ia mengerjakan shalat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika shalat ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seperti orang yang baru saja tiba di mesjid itu. Dan saat sang imam mengucapkan salam, pria itu tidak menunggu lama. Persis seperti kemarin, ia bergegas meninggalkan mesjid itu. Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Pria itu menuju ke sebuah lorong, dan setibanya di depan sebuah rumah ia masuk ke dalamnya. "Hmm, rupanya di situ pria ini tinggal. Baiklah sebentar aku akan mengunjunginya."
***
Matahari telah naik sepenggelahan. Usai menyelesaikan shalat Dhuha-nya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria itu. Ternyata ia sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu.
Begitu ia melihat Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya. "Marhaban wahai Abu 'Abdullah -begitulah Ibn al-Munkadir dipanggil-! Adakah yang bisa kubantu ? Mungkin engkau ingin memesan sebuah alas kaki ?" ujar pria itu menyambut kedatangan Ibn al-Munkadir.
Matahari telah naik sepenggelahan. Usai menyelesaikan shalat Dhuha-nya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria itu. Ternyata ia sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu.
Begitu ia melihat Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya. "Marhaban wahai Abu 'Abdullah -begitulah Ibn al-Munkadir dipanggil-! Adakah yang bisa kubantu ? Mungkin engkau ingin memesan sebuah alas kaki ?" ujar pria itu menyambut kedatangan Ibn al-Munkadir.
Namun Ibn al-Munkadir justru menanyakan hal yang lain. "Bukankah engkau yang bersamaku di mesjid kemarin malam itu?".
Dan tanpa diduga, wajah pria itu nampak sangat marah. Dengan nada suara yang tinggi ia berkata,"Apa urusanmu dengan itu semua, wahai Ibn al-Munkadir?!"
"Nampaknya ia sangat marah. Aku harus segera pergi dari sini," ujar Ibn al-Munkadir dalam hati. Dan ia pun segera pamit meninggalkan rumah tukang sepatu itu.
***
Ini adalah malam ketiga sejak peristiwa itu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Ibn al-Munkadir berjalan menuju mesjid Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Satu hal yang agak berbeda malam itu. Di hatinya ada harapan yang kuat untuk melihat pria tukang sepatu itu. Setibanya di mesjid dan mengerjakan shalat seperti biasanya, ia bersandar sambil berharap pria itu kembali terlihat di depan matanya.
Ini adalah malam ketiga sejak peristiwa itu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Ibn al-Munkadir berjalan menuju mesjid Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Satu hal yang agak berbeda malam itu. Di hatinya ada harapan yang kuat untuk melihat pria tukang sepatu itu. Setibanya di mesjid dan mengerjakan shalat seperti biasanya, ia bersandar sambil berharap pria itu kembali terlihat di depan matanya.
Namun malam semakin malam, namun pria yang ditunggu-tunggu tidak kunjung kelihatan. Ibn al-Munkadir tersadar. Ia telah melakukan suatu kesalahan. "Inna lillah' Apakah yang telah kulakukan??" itulah gumamnya saat menyadari kesalahan itu.
Dan usai shalat subuh, ia segera meninggalkan mesjid itu dan mendatangi rumah sang tukang sepatu. Namun yang temukan hanya pintu rumah yang terbuka dan tidak ada lagi pria itu. Penghuni rumah itu berkata,"Wahai Abu 'Abdullah ! Apa yang terjadi antara engkau dengan dia ?"
"Apa yang telah terjadi?" tanya Ibn al-Munkadir.
"Ketika engkau keluar dari sini kemarin itu, ia segera mengumpulkan semua barangnya hingga tidak satu pun yang tersisa. Lalu ia pergi dan kami tidak tahu kemana ia pergi hingga kini," jelas penghuni rumah itu.
Dan sejak hari itu, Ibn al-Munkadir mengelilingi semua rumah yang ia ketahui di kota Madinah. Namun sia-sia belaka. Pencariannya tidak pernah membuahkan hasil. Dan hingga kini di abad 14 Hijriyah ini, kita pun tidak pernah tahu siapa pria tukang sepatu itu. Jejak-jejaknya yang terhapus oleh hembusan angin sejarah seolah bergumam, "Biarlah, hanya Allah yang mengenalku..."[]
Sumber: Rindu seorang Mujahid, Abul Miqdad al-Madany 2006
No comments:
Post a Comment