Wednesday, February 9, 2011

AKU MAU MERUSAKNYA, JUSTRU DIA MENYELAMATKANKU

       Aku berusaha mengenang masa lalu untuk,melihat masa kecilku yang polos. Namun, aku juga berusaha lari dari kenangannya, agar aku tidak melihat penderitaan yang aku alami pada masa remajaku. Karena, tatkala usiaku menginjak 15 tahun, aku mengalami pertarungan yang paling dahsyat; pertarungan antara jalan kebaikan dan jalan keburukan. Tapi, sialnya aku justru memilih jalan keburukan. Maka setan pun memberiku selempang yang paling mahal baginya dan jadilah aku sebagai pengikut setianya. Namun tidak lama kemudian, aku belum puas, aku memberontaknya dan dia (setan) berbalik menjadi pengikutku. Aku mengambil jalan keburukan dan mereguk airnya yang pahit, bahkan lebih pahit daripada empedu. Dan demi Allah, tiada hari bagiku tanpa terlibat dalam aksi penghancuran ikatan norma-norma dan nilai-nilai yang luhur. Sampai akhirnya namaku menjadi simbol kejahatan dan kesesatan.
     
      Suatu ketika, perhatianku tertuju pada seorang gadis yang tinggal satu kampung denganku. Dia seringkali memandangiku dengan tatapan mata yang entah apa artinya. Tetapi bukan tatapan mata cinta dan sayang, kendati aku tidak mengenal arti cinta dan sayang karena ketika itu aku tidak punya hati. Pikiranku selalu dihantui oleh tatapan-tatapan yang sering menghentikan langkahku. Sehingga aku pun berhasrat untuk menggaet gadis tersebut. Sesaat kemudian aku mengambil sebuah puisi yang kata orang termasuk puisi cinta. Puisi itu aku kirimkan kepadanya melalui pintu rumahya. Tetapi, aku sama sekali tidak mendapatkan jawaban atau respon apapun darinya.
      
      Setelah kejadian itu aku dikuasai oleh niat jahatku, dan aku bertekad untuk menyesatkan gadis tersebut, suka atau tidak suka. Aku pun mulai menulis puisi tanpa menyebutkan namaku. Akhirnya, dia mendengar kabar itu, namun dia tidak mengambil tindakan apapun.Suatu malam aku pulang pada pukul 04.00 pagi. Aku termasuk orang yang bersembunyi di siang hari dan suka berkeliaran di malam hari. Tiba-tiba di depan pintu rumahku kutemukan sebuah buku tentang dzikir-dzikir Nabi . Mukaku langsung merah. Aku mengumpulkan semua keinginan jahat yang ada di dalam diriku, karena aku tahu bahwa pengirimnya adalah gadis itu. Dia telah menyatakan perang denganku. Ketika itu aku berpikir untuk menulis puisi tentang kisah cinta antara aku dan dia, lalu aku menyebarkannya dikampung kami. Itu berarti aku akan merusak kehormatannya.Aku duduk sambil menangkap ide-ide yang dihembuskan oleh setan kepadaku untuk menulis puisi itu. Setelah selesai menuliskannya aku langsung mengirimnya ke rumah gadis itu dengan sebuah ancaman; puisi itu akan aku sebarkan kepada seluruh kenalanya. Kurir pengantar puisiku datang kepadaku dengan membawa beberapa butir kurma dan mengatakan bahwa hari ini gadis itu berpuasa dan sedang menunggu saat-saat berbuka. "Dia mengirimkan kurma itu kepada anda sebagai hadiah atas puisi yang anda kirimkan kepadanya," ujarnya. "Dan dia juga mengatakan bahwa dia akan berdoa kepada Allah pada saat berbuka puasa agar anda mendapatkan hidayah," sambungnya. Aku langsung mengambil kurma itu dan membuangnya ke tanah. Mataku merah menyala dengan penuh rasa kejahatan, dan aku mengancamnya bahwa cepat atau lambat aku akan membalas kelakuanya. Aku tidak akan pernah membiarkannya berjalan di jalan kebaikan selama aku hidup. Dan aku pun mulai memburunya ketika dia berangkat ke masjid atau pulang dari masjid. Aku melontarkan kata-kata hinaan dan ejekan kepadanya. Gadis-gadis yang bersamanya pada saat itu hanya tertawa terbahak-bahak. Meskipun demikian, ejekan-ejekan tersebut tidak membuat dirinya terusik. Hari-hari berlalu dan aku merasa bahwa semua upayaku untuk menyesatkan gadis itu telah gagal. Dia masih mengirimkan buku-buku kecil tentang agama kepadaku. Dan setiap hari Senin dan Kamis (dia berpuasa), dia tetap mengirimkan kurma kepadaku. Seolah-olah bahasa tubuhnya mengatakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan aku. Itulah anggapanku terhadap tindakan-tindakannya.
       
    Beberapa bulan kemudian aku pergi keluar negeri untuk mencari kebahagiaan dan kesenangan duniawi yang tidak kutemukan di negaraku. Aku tinggal di sana sekitar 4 bulan. Selama aku di luar negeri pikiranku selalu dihantui oleh gadis itu. Bagaimana mungkin dia dapat selamat dari semua rencana yang aku buat untuknya? Aku pikir, begitu sampai di negaraku aku akan langsung memulai perang lagi dengannya dengan pola yang jauh lebih keji dan licik. Aku bahkan memutuskan akan membuatnya meninggalkan relijiusitasnya dan beralih mengikuti jalan keburukan. Jadwal kepulanganku tiba. Hari itu adalah hari Kamis, hari saat dia menjalankan ibadah puasa. Ketika disuguhi kopi dan kurma di dalam pesawat terbang, aku meminum kopi itu dan membuang kurmanya. Karena, kurma adalah simbol orang yang puasa dan membuatku teringat pada gadis tersebut.

        Pesawat mendarat di bandara kotaku pada pukul 13.00 siang. Aku naik taksi menuju rumahku. Setibanya di rumah, aku langsung dikunjungi oleh teman-temanku. Mereka mendapat hadiah dariku dan semuanya adalah hadiah-hadiah yang keji. Namun hadiah yang paling mahal dan paling keji aku berikan sebagai hadiah istimewa kepada gadis tersebut. Aku ingin melihat reaksinya setelah menerinma hadiah itu. Aku segera keluar untuk memburu gadis itu di dekat masjid sebelum shalat Maghrib. Aku tahu gadis itu sangat rajin menunaikan shalat di masjid, karena di sana ada jam' iyah (kelompok) khusus wanita untuk menghafal Al-Qur'an. Tidak lama sesudah adzan dikumandangkan, waktu iqamat pun tiba. Tetapi aku tidak melihahatya. Aku terheran-heran dan berkata di dalam hati, "Jangan-jangan gadis itu sudah berubah ketika aku pergi ke luar negeri, dan kini dia menjauhi masjid dan benar-benar menanggalkan relijiusitasnya." Aku pun pulang ke rumah sambil berharap prediksiku itu benar. Dan ketika aku membolak-balik buku-buku di rumahku, tiba-tiba aku menemukan sebuah mushaf (Al-Qur'an) yang bertuliskan "Hadiah untuk anda. Semoga Allah menunjukkan anda ke jalan-Nya yang lurus. Tertanda ... (nama gadis itu)." Aku langsung menjauhkan mushaf itu dariku dan bertanya kepada pembantuku, "Siapa yang membawa mushaf itu ke sini?" Tapi dia tidak menjawab.

      Hari kedua aku keluar rumah. Aku menunggu gadis itu di pintu masjid sambil membawa mushaf yang akan kuserahkan kepadanya. Aku akan katakan juga padanya bahwa aku tidak membutuhkannya, bahkan aku akan menjauhkannya dari mushaf itu dalam waktu dekat. Aku mcnunggu gadis itu, tapi dia tidak datang. Sampai beberapa hari tetap saja hasilnya nihil. Aku tidak pernah melihatnya. Maka aku pergi ke dekat rumahnya dan bertanya kepada anak-anak yang bermain bersama adik-adik gadis itu. "Apakah si fulanah ada?" tanyaku. Mereka malah balik bertanya, "Mengapa anda bertanya seperti itu? Barangkali anda bukan warga kampung ini." Aku menjawab, "Ya, aku warga sini. Tetapi aku membawa surat dari seorang teman untuk gadis itu." Tadinya aku menginginkan agar mereka mengantarkan surat itu kepadanya, tapi mereka mengatakan kepadaku, "Orang yang anda tanyakan itu sudah dipanggil oleh Allah ketika sedang sujud di masjid, lebih dari dua bulan yang lalu."
 
     Saat itu juga aku tidak tahu apa yang menimpaku. Aku merasa dunia berputar-putar dan aku hampir jatuh tersungkur. Hatiku tiba¬-tiba menjadi lunak dan air mataku pun mengalir. Mata yang sekian lama tidak mengenal air mata, tiba-tiba mengucurkan air mata dengan derasnya. Akan tetapi, untuk apa semua kesedihan ini? Apakah karena kematiannya yang khusnul khatimah, ataukah karena hal lain? Aku tidak bisa konsentrasi dan tidak mengerti apa penyebab dan arti dari kesedihan yang sangat berat itu.
 
     Aku pulang ke rumahku dengan berjalan kaki. Sementara tubuhku limbung, tak tahu arah ke mana akan pergi. Aku lalu duduk sambil mengetuk pintu, sementara kunci pintu ada di dalam sakuku. Aku menjadi lupa dengan segala sesuatu. Aku bahkan lupa siapa diriku. Aku terus-menerus terkenang dengan tatapan gadis itu, ke mana pun aku pergi. Dan setelah itu aku benar-benar yakin bahwa tatapan mata gadis itu bukanlah tatapan mata yang keji atau lainnya, melainkan tatapan mata iba dan kasihan kepadaku.
 
     Dia benar-benar ingin menjauhkan aku dari jalan keburukan. Setelah kematiannya aku memutuskan untuk meninggalkan keluarga¬ku. Aku benar-benar menjauhkan diri dari keluargaku dan semua orang selama lebih dari satu tahun. Aku tinggal di tempat yang jauh dari kampungku, dan keadaanku pun berubah total. Bayangan tentang gadis itu selalu ada di mataku dan tidak pernah meninggalkanku, bahkan di dalam kesendirianku. Aku seakan melihatnya ketika ia pergi ke masjid dan ketika pulang ke rumahnya.
Banyak temanku yang berusaha mencari tahu tentang alasanku menjauhi masyarakat, tentang motivasi dan pilihanku untuk hidup menyendiri. Tetapi aku tidak pernah memberitahu mereka. Sementara mushaf hadiah dari gadis itu selalu bersamaku.Aku menciuminya dan selalu menangis. Pada saat itu aku segera mengambil air wudhu dan berdiri untuk melaksanakan shalat. Tetapi aku jatuh tersungkur. Setiap kali aku berusaha berdiri aku selalu jatuh. Seumur hidupku aku tidak pernah melaksanakan shalat. Aku bcrusaha keras untuk berdiri, hingga Allah menolongku dan aku mampu mengucapkan nama-Nya. Aku memohon dan menangis kepada-Nya agar berkenan mengampuniku dan melimpahkan rahmat-Nya yang luas kepada gadis itu. Gadis itulah yang selalu berusaha memperbaiki aku, sementara aku sendiri berusaha merusaknya. Aku berandai-andai jika dia belum mati, maka tentulah dia sangat bangga melihatku berjalan di jalan yang lurus. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mampu menolak keputusan Allah.
 
      Akhirnya, aku selalu memanjatkan doa untuknya dan memohon kepada Allah agar senantiasa melimpahkan rahmat kepadanya. Aku juga berharap, mudahan-mudahanaku dapat berjumpa dengannya di tempat yang penuh rahmat-Nya. Dan aku berdoa semoga Allah berkenan membangkitkan aku dan dia bersama hamba-hamba-Nya yang shalih.

( Dinukil dari Mausu’atul qashashal, Ahmad Salim Baduwailan, hal 17)

No comments:

Post a Comment