dakwatuna.com - Lelaki istimewa itu bernama Didi. Aku biasa memanggilnya Pak Didi.  Usianya kini sudah berkepala enam. Aku mengenal beliau sudah sekitar  tiga tahun, semenjak aktif menjadi jamaah di mushalla Baiturrohim.  Beliau tinggal bersama keluarganya di RT 04 tak jauh dari mushalla,  sedang aku tinggal di RT 02. Secara pribadi, aku memang tidak tahu  banyak tentang beliau, namun di mataku beliau adalah sosok yang luar  biasa. Salah satu ‘keistimewaan’nya telah memberiku semangat sekaligus menyadarkanku akan besarnya nikmat yang telah Allah berikan.
Pertama,  beliau ini aktif shalat berjamaah di mushalla Baiturrohiim. Beliau  selalu menempati tempat yang tetap, di shaft pertama ujung sebelah  kiri. Kedua, beliau selalu menjadi jamaah yang pertama hadir  untuk shalat Subuh. Suara merdunyalah yang pertama kali terdengar  melantunkan shalawat dari pengeras suara mushalla yang terletak di sisi  jalan yang memisahkan RT 02 dan RT 04 ini. Dan beliaulah yang lebih  sering mengumandangkan azan subuh, baru kemudian yang lain datang,  termasuk aku. Hanya itu? Tidak! Pak Didi terasa lebih istimewa, karena beliau kini hanya memiliki empat indera.
Kecelakaan  kerja beberapa tahun silam telah membuat indera penglihatan pak Didi  tidak berfungsi lagi. Secara fisik, mata beliau tidak mengalami cacat,  hanya saja keduanya kini sudah tidak bisa melihat sama sekali. Jika pak  Didi selalu menempati tempat favoritnya di shaft pertama sebelah kiri,  ini wajar sebab beliau selalu datang dari pintu sebelah kiri, kemudian  menyusuri tembok dan akan berhenti ketika tangannya sudah menyentuh  tembok depan. Semua jamaah mushalla sudah tahu akan hal itu, dan tak  pernah ada yang mencoba menempati tempat ‘eksklusif’ Pak Didi.
Saat  datang untuk shalat Maghrib, aku sering melihat Pak Didi diantar oleh  cucu laki-laki dan sesekali oleh cucu perempuannya yang baru berusia  belasan tahun. Usai shalat Maghrib, pak Didi lebih sering tetap berada  di tempatnya, berdzikir dan mendengarkan jamaah lain mengaji. Usai  shalat Isya, biasanya sang istri sudah menunggu di depan pintu mushalla.
Lalu,  bagaimana cara beliau mendatangi mushalla untuk shalat subuh ketika  belum satu pun jamaah lainnya hadir di mushalla ini? Aku tak pernah  tahu. Setiap aku tiba di mushalla, beliau sudah datang lebih dulu.  Justru, seringnya lantunan shalawat beliaulah yang membangunkanku.  Setiap kali aku mencoba untuk datang lebih awal, selalu saja beliau  sudah lebih dulu berada di dalam mushalla.
Aku makin penasaran.  Sampai akhirnya, suatu saat aku mendapatkan kesempatan untuk bertanya  kepada beliau, siapa yang mengantarnya ke mushalla, membangunkan warga  sekitar untuk shalat subuh berjamaah. Diantar cucunya yang masih kecil  itukah, atau diantar istrinya yang setia?
Aku terkejut mendengar jawaban pak Didi
“Selama  ini, untuk shalat subuh saya lebih sering datang ke mushalla sendiri,  tanpa diantar cucu atau istri. Bukannya mereka tidak mau, tapi memang  mau saya begitu. Sebelum subuh, jalanan masih sepi, jadi saya tidak  khawatir berpapasan dengan orang-orang yang lalu lalang”
“Pak Didi tidak takut nabrak, terpeleset atau……..maaf, nyasar misalnya?” dengan hati-hati aku bertanya, takut beliau tersinggung.
“Insya Allah tidak. Saya sudah mempunyai hitungan sendiri “ beliau menjawab dengan tenang, tanpa menunjukkan rasa tersinggung sedikit pun atas pertanyaanku.
“ Maksudnya, hitungan bagaimana Pak?” aku makin penasaran.
Kemudian dengan gamblang beliau menjelaskan ‘rumus’  yang dimilikinya untuk bisa sampai ke mushalla ini tanpa nabrak ataupun  khawatir terpeleset ke dalam selokan yang berada di sisi jalan. Dengan  bantuan tongkat kecilnya, beliau berangkat dari rumah sendiri ketika  orang-orang ( termasuk aku ) masih lelap dalam tidur. Beliau berjalan  dengan mengandalkan ingatan mengenai jalan menuju mushalla. ( Kebutaan  yang dialami pak Didi memang bukan sejak lahir, tapi karena kecelakaan,  jadi beliau masih memiliki gambaran tentang jalan dan juga rumah-rumah  yang ada di sepanjang jalan menuju mushalla.).
Pertama, beliau  keluar rumah dan berjalan lurus kurang lebih 10 langkah. Sampai di jalan  kecil ber-konblok, beliau belok kiri dan melangkah sekitar 15 langkah.  Dengan bantuan tongkatnya, beliau akan memastikan tembok rumah  tetangganya, dimana dia harus belok kanan dan melangkah lagi sekitar 10  langkah. Saat berada di jalan ini, tangan kiri beliau akan meraba tembok  rumah tersebut, hingga sampai di ujung. Kemudian beliau akan belok kiri  dan berjalan lurus kurang lebih 28 langkah. Setelah itu beliau akan  berbelok kearah kanan, maju 10 langkah dan mencoba memastikan keberadaan  tembok mushalla dengan tongkat kecilnya. Setelah berhasil menemukan  tembok mushalla, beliau kemudian akan terus maju hingga kurang lebih 17  langkah sampai beliau bisa menyentuh pintu mushalla.
Begitulah,  setiap pagi di saat orang-orang masih banyak yang terlelap, pak Didi  sudah lebih dulu datang ke mushalla dengan ‘meraba’ jalanan yang gelap.  Gelap, benar-benar gelap, bukan karena tak ada lampu tapi karena beliau  sudah tak bisa menangkap apapun dengan indera penglihatannya. Aku sering  mendapati buktinya. Ketika tiba di mushalla, keadaan masih gelap, tak  ada lampu yang menyala, padahal pak Didi sudah berada di dalamnya  melantunkan shalawat atau mengumandangkan adzan. Dan jika ia mampu  menggunakan pengeras suara untuk membangunkan warga dengan shalawat dan  azan, itu juga ia lakukan dengan cara meraba. Subhanallah!
Aku  tertegun mendengar cerita Pak Didi. Aku merasa malu, malu dengan diriku  sendiri,. Allah telah memberiku anugerah yang sangat besar. Kelima  inderaku semua berfungsi dengan sempurna, namun sering kuanggap biasa-biasa saja.  Syukur itu seringkali hanya menjadi ucapan bibir semata. Sementara pak  Didi, istiqamah mendatangi jamaah shalat subuh dengan susah payah,  bahkan selalu hadir lebih awal, dalam kegelapan yang sebenarnya. Pak  Didi mampu mewujudkan syukur itu dalam tindakan nyata. Kebutaan,  kegelapan yang kini beliau rasakan, mampu beliau terima sebagai sebuah  kenikmatan.
Terima kasih pak Didi. Kisahmu membukakan pintu  hidayah bagiku. Ceritamu memberikan semangat untuk selalu datang ke  mushalla, shalat berjamaah meskipun aku belum bisa mengalahkanmu, karena  engkau selalu datang lebih dulu.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/10/15677/90-langkah-menuju-mushalla/#ixzz1bsSpW45o


