Monday, March 4, 2013
33. Cerita Mengharukan Lanjutan Hal: 32 (Bagian VI)
Lanjutan Dari Halaman 32 (Bagian VI):
Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Diatas t ebing kelihatan beberapa orang laki-lakiberpakaian padu. Sementara itu, dari atas tebing dibelakang mereka senang tiasa kelihatan orang datang.
“Mengapa kamu dia saja.....”
Tari mengangkat mukanya yang kemerah-merahan karena sinar matahari dan memandang kepada Andika agak keletihan rupanya.
“Saya agak lesu.....” katanya perlahan hampir tiada kedengaran. Mendengar jawaban Tari itu, segera berubah muka Andika dan tampaknya dia agak cemas.
“ kamu sakit Tari.....” suaranya terang menyatakan bahwa ia agak khawatir melihat rupa Tari ketika itu. Tapi Tari menggelengkan kepalanya dengan senyum antara kelihatan dan tiada.
“ sakit si tidak, tapi saya agak letih”
“ Saya dari dulu memang kurang kuat menahan letih.”
“ Kalau saya sudah berlari cepat-cepat, pemandangan saya dan nafas saya agak sesak.”
“ Ya badanmu budan badan yang kuat, saya salah dari tadi tidak ingat akan hal itu.” Kata Andika agak menyesal.
Andika memandang ke sekelilingnya untuk mencari tempat duduk yang baik. Lalu dilihatnya dibelakang mereka ada batu yang besar, lalu berkata ia kepada Tari.
“ Tari. ..., ayo kita kesana ke batu dekat tebing itu, engkau boleh beristirahat disana sesukamu.”
“ Ah... tidak mengapa, disini saja paling juga sebentar lagi letih saya akan hilang.” Jawab Tari membantah, ia tidak ingin menunjukan kelemahan yang di lebih-lebihkan.
Tetapi andika tidak dapat disangkal lagi,ia merasa tanggungan yang dipikulnya amat besar. “ Tidak.....tidak....., engkau harus duduk disana.” Ucapan yang setetap itu tidak terlawan oleh Tari. Iapun berdiri dan bersama-sama Andika, pergi kebatu ditepi tebing itu. Andika mengeluarkan dua buah bingkisan roti dari sakunya dan diberikannya sebuah kepada Tari.
” Marilah makan ini dulu, badanmu akan dikuatkannya kembali.”
Sementara itu, mereka bercakap-cakap juga. Bertambah lama bertambah asyik, sebab lambat laun Tari hilang pula letihnya. Andika menceritakan kebesaran dan keindahan alam didaerahnya tempat ia lahir. Hutan yang luas, danau yang besar dan indah dan jalan yang berbelit-belit dan berliku. Bercahaya-cahaya mata Tari mendengar cerita Andika akan keindahan negerinya. Dan didalam hatinya yang mengagumi anak muda itu tergambarlah segala hal yang didengarkannya itu.Tari mencoba berdiri dan berjalan-jalan, seolah-olah dia berada ditenpat kelahiran Andika. Andikapun sedikit tertawa melihat tingkah laku Tari yang berubah secara spontantanitas itu.
“ kamu sudah kuat Tari.......”saya takut nanti harus mengendong orang pula pulang ke rumah.” Ejek Andika kepada Tari.
“ Ya... saya tahu akan hal itu, sebab engkau tidak akan kuat mengendong saya” jawab Tari sambil tertawa. Mukanya yang merah karena panas lebih memerah lagi menginsyafkan arti perkataan yang keluar dari mulutnya dengan tiada di ketahuinya itu, dan dibuangnyalah mukanya ke tempat lain karena dia agak sedikit malu untuk memandang andika.
“ Kalau tidak letih ternyata Tari lucu benar.” Ujar Andika dengan tenang. Baiklah kita naik keatas berjalan-jalan disana.” Iapun berdiri pula, diambilnyalah setangan alas duduk Tari, dikiraikannya beberapa kali, lalu dimaskkannya kedalam sakunya. Tari mengambil lebih buah anggur yanh terletak diatas batu dengan tangannya.
“Indah benar tempat berjalan dibawah bambu ini” ujar Tari seraya memandangkan matanya mengikuti jalan yang teduh dihadapan mereka.
“ Ini pertama kali saya berjalan kemari, di Jakarta tidak ada tempat berjaan hari minggu seperti ini dan seindah ini.”
Perasaan bahagia yang menahan kegembiraan hati mereka. Langkah mereka memberat dan percakapan yang riang, penuh canda dan tawa melembut seperti belaian yang halus.
“ Mengapa kamu diam pula……..” kata Andika tiba-tiba setelah mereka lama berjalan dengan tiada terkata-kata. Tari mengangkat mukanya melihat kepada Andika dan matanya yang besar hitamdan jelita itu berat rupanya. Senyum yanh tertahan membayang pada wajahnya. Andika segera membuang mukanya melihat mata gadis yang menghimbau itu. Ia menolak perasaan yang ghaib merasuk qalbunya. Tari melihat kepada bunga kembang setahun yang tumbuh terpencil di bawah bunga Marygold yang gembira memuncakan kembangnya yang kuning.
“ Bagus benar bunga ini,” ujar Tari.
“ kalau kita di Jakarta, tentu sudah saya cabut bunga ini untuk ditanam di rumah.”
“Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu ditanam”
“O ya, kalau begitu baiklah kamu yang menyimpannya, saya hendak mencucukannya di kelopak bajumu.maukah kamu…..”
Dengan tiada menanti jawaban lagi,seeralah Tari memetik bunga itu. Iapun mendekati Andika dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu, dan memasukannya kedalam kelopak baju Andika. Sementara itu,Andika dengan pesat mengamati gadis yang sangat dekat dengannya itu. Rambutnya yang hitam lebat teranyam, mukannya yang merah bercahaya tersenyum ditahan. Sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada dada bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi kedua muda remaja itu. Dari mulut Tari keluar ucapan agak gemetar, tatapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan kemenangannya.
Tari tiada membantah lagi, tetapi mukanya yang memucat di tundukannya kebawah dengan tiada berkata sesuatu apapun. Pada mata Tari kelihatan kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta mengemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya.
“ Tari….Tari….. tahukah kamu kalau saya cinta padamu….” Badan Tari gemetar dan melemah lalu diapun terjatuh ke tangan Andika dan seraya menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu hampir-hampir tiada kedengaran.
“Lama benar kamu menyuruh saya menanti kata-katamu…..” tak dapat lagi dia meneruskan ucapannya, sebab Andika menundukan kepalanya ke arah Tari dan menutupkan bibirnya ke atas bibir Tari. Dan dalam curahan cinta pertama yang mengemetarkan badan mereka yang muda remaja itu,menjauh mengaburlah keinsafan mereka akan tempat dan waktu.
Sama-sama mereka berjalan dengan penuh mesranya berpegangan di antara pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ti tiup angin. Ketika tiba di seberang mereka turun ke bawah ke tepi anak air. Beberapa lamanya mereka melangkah dari batu ke batu. Sekelilingnya indah nan permai seperti biasanya di tengah alam, dan indah nan permai seperti biasa pula pujuk dan cumbu asyik maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan perasaan cinta pertama yang penuh harapan.
Tari telah menceritakan kepada Putri bahwa dia telah berjanji kepada Andika untuk menjadi istrinya di kemudian hari.
Pada suatu malam, sesudah makan gadis berdua itu berkumpul dikamar tidur mereka. Putri duduk di meja membaca buku, sedangkan Tari berguling-guling ditepi tempat tidur sambil membaca sebuah roman. Di luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya hujan turun. Beberapa lamanya Tari melamun di beranda menantikan kekasihnya yang tiada juga kunjung-kunjung datang.
Lanjut ke Halaman 34 Bagian VII
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment