Suatu saat, seseorang mengetuk pintu rumah kami. Begitu pintu saya buka, ternyata seorang gadis kecil. Kira-kira 11 tahunan. Namanya…, saat itu saya lupa. Ia menyodorkan sebuah tas kantong plastik. Tampaknya berisi pisang dan entah apa. Setelah saya tanya dari mana, ia menunjuk ke seberang jalan. Di sana berdiri seorang pria berjenggot tebal mengenakan surban. Tampaknya ia baru saja turun dari mobil. Kepada saya pria itu melambaikan tangan. Sedangkan gadis di depan saya, beberapa saat sebelum sempat saya tanya-tanyai lagi, langsung berlari ke arah pria tadi dan masuk rumahnya. Pria itu segera menyusul masuk.
Keesokan harinya, saya menunggu kesempatan sampai pria yang kemarin sore itu keluar rumah. Begitu dia keluar hendak masuk mobil, saya pun keluar rumah dan berjalan ke arahnya. Kami pun saling memperkenalkan diri. Ternyata Mahmood namanya. Kira-kira 45 tahunan. Kami bertukar tanya tentang asal-usul, sewajarnya orang baru kenal. Akhirnya bukan basa-basi lagi, saya jadi senang bercerita karena begitu ramahnya ia.
Di saat berikutnya, saya merasakan dia dan keluarganya memperhatikan kami. Belum sempat kami membalas atas kirimannya tempo hari, Mahmood memberi sesuatu lagi kepada kami. Berhubungan dengan makanan. Selain itu, ia sering memasukkan ke jadwal salat lewat di pintu rumah kami. Karenanya kami berusaha membalas kebaikan-kebaikannya. Di waktu berikutnya kami pun membuat masakan Indonesia sebagai “jawaban” atas ajakan mempererat silaturahmi.
Atas semua hal itu, saya mulai memperhatikan hal-hal yang tampak dari keluarga tetangga yang baik ini. Berasal dari Pakistan, Mahmood tinggal di negara kerajaan ini sejak 27 tahun yang lalu. Dari istrinya yang selalu mengenakan cadar, lahirlah tiga putri dan putranya. Gadis kecil tempo hari itu ternyata anak keempat. Kami biasa memanggilnya Maniba. Kakaknya, Rasyid, yang masih usia SMP, kira-kira tujuh bulan yang lalu, diajak oleh Mahmood ke Pakistan. Di sana ia dimasukkan ke sekolah asrama (semacam pesantren). Dua bulan yang lalu ketika saya tanya tentang putranya yang di Pakistan, Mahmood menjawab, “Alhamdulillah, dia baik-baik saja. Kini ia mengikuti program menghafal Quran. Alhamdulillah ia sudah menghafal 6 juz.”
Mahmood menambahkan, bahwa ia berkeinginan agar suatu saat Rasyid mengkhatamkan hafalan Qurannya dan kemudian bisa studi ke Mekah atau Madinah. Ia juga menginginkan putranya yang paling kecil mengikuti jejak kakaknya, meskipun tidak harus ke Pakistan. Adeel, nama si bungsu yang masih 8 tahun, kini telah menamatkan hafalan juz 30 di madresah yang diikutinya setiap sore hari.
Sampai di sini, cerita ini saya geser sedikit ke soal madresah. Setiap jam setengah lima sore, saya melihat Mahmood atau istrinya, mengantar putra-putrinya yang masih pergi ke madresah. Saya lihat, tetangga-tetangga yang lain juga sama. Di sore hari, sepulang dari sekolah, mereka di antar oleh ibu atau bapaknya untuk belajar lagi. Di tempat inilah mereka sehari-hari secara informal memperoleh pelbagai pengajaran tentang keislaman, mulai dari aqidah, ibadah, cara membaca Quran hingga bimbingan hafalan Quran.
Yang disebut terakhir ini, rupanya menjadi program favorit di tiap-tiap madresah yang pernah saya jumpai. Sekadar informasi, di Inggris, khususnya kota Birmingham yang populasi muslimnya cukup besar ini, banyak berdiri madresah. Sebagai institusi pendidikan yang bersifat informal, madresah menjadi alternatif untuk menutupi kekurangan ajaran keislaman yang hal itu tidak tersedia dalam kurikulum sekolah. Yang mengelola adalah – mereka biasa menyebut – para maulana. Karena begitu banyaknya madresah, bisa dibayangkan, potensi-potensi penghafal Quran semacam Rasyid dan Adeel ini banyak bermunculan di kerajaan yang menganut Katholik Anglikan ini.
Suatu saat kami mengajak anak-anak jalan-jalan ke sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Di arena playground saya memperhatikan seorang bapak muda sedang ndolani anaknya. Kanzul, nama bapak dua anak asal Bangladesh ini, tampak dengan bangganya menunjuk kepada anak pertamanya yang masih berumur 12 tahun dan telah mengkhatamkan hafalan Quran. Rupanya ia tidak saja menyekolahkan anaknya ke madresah, tetapi juga memanggil guru private ke rumahnya, demi meningkatkan .
Karena kami berminat memasukkan anak kami ke madresah, tetangga sebelah kanan mengajak saya untuk datang ke madresah tempat anaknya belajar. Setelah bertemu sang Maulana (belakangan saya kenal bernama Umar dan dia senang ketika beberapa bulan lalu sempat mengunjungi Malaysia, Singapore, dan Indonesia), ternyata kelasnya sudah penuh.
Sempat terpikir oleh saya, apakah program semacam ini tidak terlalu membebani sang anak. Namun kekhawatiran saya tidak terlalu beralasan, jika melihat keceriaan di wajah mereka sehari-hari. Terlebih mereka masih mempunyai kesempatan bermain. Di musim panas terutama, anak-anak ini biasa main di rumah dan menjadi teman bagi anak-anak kami. Di saat mereka bermain saya kerap mengajak berbincang-bincang tentang berbagai macam termasuk aktivitas mereka sehari-hari.
Dari mereka saya melihat sebuah harapan. Munculnya bibit-bibit ataupun permata yang akan meramaikan dunia dengan kalimat-kalimat Qurani. Dari sebuah negeri yang dikenal sekular. Insya Allah.
Bragg Road, 00.00 – 12.02.2013
Ditulis oleh Mohammad Rozi dipublis di kompasiana, link: http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/12/bibit-bibit-penghafal-quran-di-negeri-barat-527723.html
Keesokan harinya, saya menunggu kesempatan sampai pria yang kemarin sore itu keluar rumah. Begitu dia keluar hendak masuk mobil, saya pun keluar rumah dan berjalan ke arahnya. Kami pun saling memperkenalkan diri. Ternyata Mahmood namanya. Kira-kira 45 tahunan. Kami bertukar tanya tentang asal-usul, sewajarnya orang baru kenal. Akhirnya bukan basa-basi lagi, saya jadi senang bercerita karena begitu ramahnya ia.
Di saat berikutnya, saya merasakan dia dan keluarganya memperhatikan kami. Belum sempat kami membalas atas kirimannya tempo hari, Mahmood memberi sesuatu lagi kepada kami. Berhubungan dengan makanan. Selain itu, ia sering memasukkan ke jadwal salat lewat di pintu rumah kami. Karenanya kami berusaha membalas kebaikan-kebaikannya. Di waktu berikutnya kami pun membuat masakan Indonesia sebagai “jawaban” atas ajakan mempererat silaturahmi.
Atas semua hal itu, saya mulai memperhatikan hal-hal yang tampak dari keluarga tetangga yang baik ini. Berasal dari Pakistan, Mahmood tinggal di negara kerajaan ini sejak 27 tahun yang lalu. Dari istrinya yang selalu mengenakan cadar, lahirlah tiga putri dan putranya. Gadis kecil tempo hari itu ternyata anak keempat. Kami biasa memanggilnya Maniba. Kakaknya, Rasyid, yang masih usia SMP, kira-kira tujuh bulan yang lalu, diajak oleh Mahmood ke Pakistan. Di sana ia dimasukkan ke sekolah asrama (semacam pesantren). Dua bulan yang lalu ketika saya tanya tentang putranya yang di Pakistan, Mahmood menjawab, “Alhamdulillah, dia baik-baik saja. Kini ia mengikuti program menghafal Quran. Alhamdulillah ia sudah menghafal 6 juz.”
Mahmood menambahkan, bahwa ia berkeinginan agar suatu saat Rasyid mengkhatamkan hafalan Qurannya dan kemudian bisa studi ke Mekah atau Madinah. Ia juga menginginkan putranya yang paling kecil mengikuti jejak kakaknya, meskipun tidak harus ke Pakistan. Adeel, nama si bungsu yang masih 8 tahun, kini telah menamatkan hafalan juz 30 di madresah yang diikutinya setiap sore hari.
Sampai di sini, cerita ini saya geser sedikit ke soal madresah. Setiap jam setengah lima sore, saya melihat Mahmood atau istrinya, mengantar putra-putrinya yang masih pergi ke madresah. Saya lihat, tetangga-tetangga yang lain juga sama. Di sore hari, sepulang dari sekolah, mereka di antar oleh ibu atau bapaknya untuk belajar lagi. Di tempat inilah mereka sehari-hari secara informal memperoleh pelbagai pengajaran tentang keislaman, mulai dari aqidah, ibadah, cara membaca Quran hingga bimbingan hafalan Quran.
Yang disebut terakhir ini, rupanya menjadi program favorit di tiap-tiap madresah yang pernah saya jumpai. Sekadar informasi, di Inggris, khususnya kota Birmingham yang populasi muslimnya cukup besar ini, banyak berdiri madresah. Sebagai institusi pendidikan yang bersifat informal, madresah menjadi alternatif untuk menutupi kekurangan ajaran keislaman yang hal itu tidak tersedia dalam kurikulum sekolah. Yang mengelola adalah – mereka biasa menyebut – para maulana. Karena begitu banyaknya madresah, bisa dibayangkan, potensi-potensi penghafal Quran semacam Rasyid dan Adeel ini banyak bermunculan di kerajaan yang menganut Katholik Anglikan ini.
Suatu saat kami mengajak anak-anak jalan-jalan ke sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Di arena playground saya memperhatikan seorang bapak muda sedang ndolani anaknya. Kanzul, nama bapak dua anak asal Bangladesh ini, tampak dengan bangganya menunjuk kepada anak pertamanya yang masih berumur 12 tahun dan telah mengkhatamkan hafalan Quran. Rupanya ia tidak saja menyekolahkan anaknya ke madresah, tetapi juga memanggil guru private ke rumahnya, demi meningkatkan .
Karena kami berminat memasukkan anak kami ke madresah, tetangga sebelah kanan mengajak saya untuk datang ke madresah tempat anaknya belajar. Setelah bertemu sang Maulana (belakangan saya kenal bernama Umar dan dia senang ketika beberapa bulan lalu sempat mengunjungi Malaysia, Singapore, dan Indonesia), ternyata kelasnya sudah penuh.
Sempat terpikir oleh saya, apakah program semacam ini tidak terlalu membebani sang anak. Namun kekhawatiran saya tidak terlalu beralasan, jika melihat keceriaan di wajah mereka sehari-hari. Terlebih mereka masih mempunyai kesempatan bermain. Di musim panas terutama, anak-anak ini biasa main di rumah dan menjadi teman bagi anak-anak kami. Di saat mereka bermain saya kerap mengajak berbincang-bincang tentang berbagai macam termasuk aktivitas mereka sehari-hari.
Dari mereka saya melihat sebuah harapan. Munculnya bibit-bibit ataupun permata yang akan meramaikan dunia dengan kalimat-kalimat Qurani. Dari sebuah negeri yang dikenal sekular. Insya Allah.
Bragg Road, 00.00 – 12.02.2013
Ditulis oleh Mohammad Rozi dipublis di kompasiana, link: http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/12/bibit-bibit-penghafal-quran-di-negeri-barat-527723.html
No comments:
Post a Comment